Perkembangan IT pada era globalisasi ini mengarahkan pada
masa di mana semua orang sangat membutuhkan dan mengakses sebuah informasi
secara mudah, apalagi informasi mengenai perkembangan suatu perusahaan.Tidak
hanya orang biasa, namun para pihak-pihak terkait misalnya saja investor pasti
sangatlah tertarik dengan harapan mampu menginvestasikan modalnya pada
perusahaan yang memiliki prospek masa depan yang baik.Seperti yang sudah
dibahas pada artikel sebelumnya, IFRS memang memiliki peran penting sebagai
jembatan penyampaian informasi pelaporan suatu organisasi atau perusahaan.
Tidak hanya dunia bagian Eropa saja, akan tetapi negara-negara yang berada di
kawasan Asia juga sudah mulai mengadopsi IFRS. Salah satu negara yang perlahan
mulai mengadopsi nya adalah Indonesia. Meski belum secara maksimal terlaksana,
namun ada nya progress sebagai titik
terang bahwa Indonesia mengikuti perkembangan yang ada.
Sebelum lebih jauh pembahasannya, ada baiknya mengetahui
apa saja perbedaan antara IFRS dengan US GAAP. Karena pada artikel sebelumnya
sempat membahasnya, namun belum jelas dipaparkan perbedaannya. Beberapa
perbedaaan IFRS dengan US GAAP yaitu :
1.
Nilai
Wajar
Sebelum
digunakan IFRS akuntansi menggunakan historical
cost untuk pengukurantransaksinya. Historical
Cost merupakan jumlah kas atau setara kas yang dibayarkan atau nilai
wajarimbalan lain yang diserahkan untuk memperoleh aset pada saat perolehan
atau konstruksi, atau jikadapat diterapkan jumlah yang dapat diatribusikan
langsung ke aset pada saat pertama kali
diakuisesuai dengan persyaratan tertentu didalam PSAK lain (PSAK 19, revisi
2009). Kelemahan darihistorical cost
adalah kurang mencerminkan kondisi yang sebenarnya. Contohnya saja, perusahaan
membelibangunan pada tanggal 2 januari 2008 biaya perolehan tanah
Rp.300.000.000, diestimasi bangunanmempunyai umur ekonomis 15 tahun dan
disusutkan dengan metode garis lurus, maka pada akhirtahun 2010 nilai tercatat
bangunan di dalam laporan posisi keuangan sebesar Rp 260.000.000. Karenapeningkatan nilai strategis lingkungan
biaya perolehan bangunan serupa pada akhir tahun 2010 padasaat pelaporan menjadi naik 2 kali lipat sehingga biaya historis tidak mencerminkan nilai
aset yangsebenarnya. Keunggulan dari historical cost adalah bahwa historical cost lebih objektif dan lebihverifiable
karena didasarkan pada transaksi, namun demikian pihak manajemen bisa
memanfaatkankelemahan historical cost
untuk melakukan manajemen laba, misalnya pada saat kinerja perusahaansedang
buruk apabila nilai wajar aset pada tanggal pelaporan lebih besar dari nilai
tercatatnya makapihak manajemen akan menjual aset tersebut sehingga ada
keuntungan yang terjadi akan diakui di dalamlaporan laba rugi.
Standar
IFRS lebih mengarah pada penggunaan nilai wajar, terutama properti investasi, beberapa
aset tak berwujud, aset keuangan, dan aset biologis. Dengan demikian maka
diperlukan sumber daya yang kompeten untuk menghitung nilai wajar atau bahkan
perlu menyewa jasa konsultan penilai terutama untuk asset-aset yang tidak
memiliki nilai pasar aktif. Nilai wajar (fair
value) adalahsuatu jumlah yang dapat digunakan sebagai dasar pertukaran
asset atau penyelesaian kewajiban antara pihak yang paham (knowledgeable) dan berkeinginan untuk melakukan transaksi wajar
(arm's lengthtransaction). (IAI,2009).
Keuntungan digunakan nilai wajar adalah bahwa pos-pos aset dan
liabilitasyang dimiliki lebih mencerminkan nilai yang sebenarnya pada saat
tanggal laporan keuangan. Namunterdapat argumenyang menolak penggunaan nilai
wajar yang menyatakan bahwa penggunaan nilaiwajar menyebabkan volatilitas dalam
laporan keuangan dan mengurangi prediksi dari laba. Namun jikapenggunaan nilai
wajar menyebabkan volatilitas yang tinggi hal tersebut sebenarnya hanya
mengungkapkan realitas ekonomi yang sebenarnya (Siregar, 2010). Dengan demikian peralihan daribiaya historis
ke nilai wajar diharapkan akan mengurangi manajemen laba yang dilakukan
olehperusahaan.
2.
Principal
Based
Sebelum
konvergensi ke IFRS, standar akuntansi di Indonesia menggunakan US GAAP yang dirumuskan
oleh FASB. US GAAP merupakan standar yang rules
based (berbasis aturan). Standaryang berbasis aturan akan meningkatkan konsistensi dan
keterbandingan antar perusahaan dan antarwaktu, namun di sisi lain mungkin
kurang relevan karena ketidakmampuan standar merefleksi kejadianekonomi entitas
yang berbeda antar perusahaan dan antar waktu. Standar berbasis aturan juga
akan mengakibatkan munculnya standar-standar akuntansi untuk industri tertentu
misalnya saja akuntansipenyelenggaraan jalan tol, akuntansi koperasi, akuntansi
kehutanan, akuntansi perbankan. Padahalsecara prinsip terdapat kesamaan untuk
standar akuntansi tersebut dari sisi pengakuan pendapatan danpengakuan aset.
Semakin banyak aturan, maka aturan tersebut akan semakin memiliki banyak celah
untuk dilanggar. Hal ini mengakibatkan aturan akan semakin banyak untuk menutup
celah-celah yanglain. Standar yang detail juga menyediakan insentif bagi
manajemen untuk mengatur transaksi sesuai hasil yang diharapkan berdasarkan
aturan dalam standar. Auditorpun menjadi lebih sulit untukmenolak manipulasi
yang dilakukan oleh manajemen ketika ada aturan detail yang
menjustifikasinya.Disamping itu Standar yang detail tidak dapat memenuhi
tantangan perubahan kondisi keuangan yangkompleks dan cepat. Standar yang
detail juga menyajikan dengan aturan
(form) tapi tidak merefleksikejadian ekonomi yang mendasarinya secara
substansial. Berbeda dengan US GAAP yang berbasis aturan standar akuntansi IFRS
berbasis prinsip. Pengaturan pada tingkat prinsip akan meliputi segala hal
dibawahnya. Namun memiliki kelemahan seperti akandibutuhkan penalaran,
judgement, dan pemahaman yang cukup mendalam dari pembaca aturan dalammenerapkannya.
Standar semacam ini konsisten dengan tujuan pelaporan keuangan untuk
dapatmenggambarkan kejadian yang sesungguhnya di perusahaan. Standar berbasis
prinsip memberikeunggulan dalam hal memungkinkan manajer memilih perlakuan
akuntansi yang merefleksikan
transaksi
atau kejadian ekonomi yang mendasarinya, meskipun hal sebaliknya dapat terjadi.
Standar berbasis prinsip memungkinkan manajer, anggota komite audit, dan
auditor menerapkan judgment profesionalnya untuk lebih fokus pada merefleksi
kejadian atau transaksi ekonomi secara substansial,tidak sekedar melaporkan
transaksi atau kejadian ekonomi sesuai dengan standar.
3.
Persyaratan
pengungkapan yang lebih banyak dan lebih rinci
IFRS
mensyaratkan pengungkapan berbagai informasi tentang risiko baik kualitatif
maupun kuantitatif. Pengungkapan dalam laporan keuangan harus sejalan dengan
data/informasi yang dipakaiuntuk pengambilan keputusan yang diambil oleh
manajemen. Tingkat pengungkapan yang makinmendekati pengungkapan penuh (full
disclosure) akan mengurangi tingkat asimetri informasi(ketidakseimbangan
informasi) ketidakseimbanagan informasi antara manajer dengan pihak
penggunalaporan keuangan. Asimetri informasi adalah kondisi dimana manajer
mempunyai informasi superiordibandingkan dengan pihak laik. Oleh karena itu
manajer akan melakukan diysfunctional behaviordengan melakukan manajemen laba
terutama jika informasi tersabut terkait dengan pengukuran kinerja manajer. Jadi dapat disimpulkan kondisi informasi
asimteri inilah yang merupakan kondisi
yangdibutuhkan untuk dilakukannya
manajemen laba. Dengan kata lain tingkat pengungkapan memilikihubungan negatif
dengan manajemen laba hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
olehSiregar dan Bachtiar (2003) menemukan bahwa perusahaan yang melakukan
manajemen labacenderung mengungkapkan informasi lebih sedikit dalam laporan
keuangannya agar tidak terdeteksi.Perusahaan dengan tingkat pengungkapan
minimal cenderung melakukan manajemen laba dansebaliknya.
Kembali ke pembahasan, konvergensi IFRS yang terjadi di
Indonesia meningkatkan kebutuhan atas jasa audit dan fee dari hasil kegiatan
pengadopsian tersebut. Auditor berhak memperoleh fee terkaitatas jasa
profesionalnya. Peraturan mengenai dasar pengenaan fee audit telah ditetapkanoleh
Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) yang menerbitkan Surat Keputusan
No.KEP.024/IAPI/VII/2008 tentang Kebijakan Penentuan Fee Audit.Konvergensi IFRS
ternyata menimbulkan suatu efek ketidakpastian dalam lingkungan pelaporan keuangan.
Ketidakpastian akibat IFRS berkontribusi terhadap peningkatan biaya kepatuhanyang
dihadapi oleh perusahaan. De Georgeet al
(2013) menyebutkan bahwa ketidakpastian yang terjadi dalam lingkungan pelaporan
keuangan meningkatkan pengawasan ex postinvestor
atas laporan keuangan berbasis IFRS yang relatif baru. Selain itu, adanyapeningkatan
kompleksitas audit dalam konvergensi IFRS terkait dengan adanya kenaikkanupaya
audit dan level kesulitan penugasan oleh auditor. Transisi standar akuntansi
lokal kebasis IFRS membuat ekstra risiko pada klien dan memakan waktu kerja
lebih lama bagiauditor. Lamanya proses audit maka akan berpengaruh pada fee
yang dibebankan (Simunic et al 1996;
Comprix et al 2012).Konvergensi IFRS
menyebabkan risiko litigasi pada pelaporan keuangan meningkat. Bentuk risiko
litigasi yang akan dihadapi auditor adalah kesalahan (misstatement) dalam penyajian laporan keuangan. Teo-Eu Jin et al (2000) dan Krishnan et al (2005) mengemukakan pendapatnya
bahwa hubungan negatif dapat tercipta jika risiko litigasi menyebabkan
kegagalanaudit yang akan merugikan auditor dari segi reputasi dan nama baik
KAP. Untukmengatasi kondisi yang kurang menguntungkan tersebut, setiap negara
membutuhkan peraturan hukum yang berlakuuntuk meminimalisasi risiko litigasi
(Kim et al, 2012).
Namun, Martani (2013) menyatakan bahwa konvergensi IFRS
di Indonesia tidak mengakibatkan sistem akuntansi klien mengalami perubahan
yang besar. Hal inidikarenakan konvergensi IFRS di Indonesia hanya mengalami
persamaan substansi atassuatu standar akuntansi. Jadi konvergensi IFRS lebih
berdampak langsung pada perusahaan besaryang memiliki kegiatan operasional di
luar negeri. Perusahaan-perusahaan besar yang memiliki anakperusahaan dan
kombinasi bisnis yang tersebar di luar negeri memilih Big Four
karenamembutuhkan pertimbangan IFRS lebih besar dibandingkan perusahaan lokal.
Disini, Saudari Hanifah Kurnia Ulfasari dan Marsono melakukan penelitian yang
ada kaitannya dengan audit dan auditor. Dalam penelitiannya yang berjudul
Determinan Fee Audit Eksternal Dalam Konvergensi IFRS, memiliki tujuan yaitu
apa saja faktor-faktor yang dapat mempengaruhi komisi atau imbalan pada audit
eksternal. Beberapa hal yang dapat mempengaruhi yaitu :
1.
Adanya
pengaruh kompleksitas perusahaan terhadap fee audit eksternal dalam konvergensi
IFRS,
2.
Adanya
pengaruh ukuran perusahaan terhadap fee audit eksternal dalam konvergensi IFRS,
3.
Adanya
pengaruh risiko litigasi terhadap fee audit eksternal dalam konvergensi IFRS,
4.
Adanya
pengaruh ukuran KAP terhadap fee audit eksternal dalam konvergensi IFRS dan;
5.
Adanya
pengaruh pergantian KAP terhadap fee audit eksternal dalam konvergensi IFRS.
Dari penelitian tersebut dihasilkan beberapa pengaruh
yang berdampak pada perusahaan non keuangan, yang mana sebagai objek penelitian
tersebut. Ternyata ada tiga hipotesis yang diterima sebagai hal-hal yang
berpengaruh pada fee audit eksternal, yaitu kompleksitas perusahaan, ukuran
perusahaan, dan ukuran KAP. Sedangkan risiko litigasi dan pergantian KAP tidak
berpengaruh. Mengapa demikian? Sebagai
mana yang dijelaskan oleh Kim et al(2012)
dan De George et al (2013) bahwa adopsi
IFRS meningkatkan kompleksitas audit. Hal ini disebabkan IFRS bersifat
komprehensif, berorientasi pada fair-value,
danprinciple based. Penerapan IFRS
membutuhkan auditor handal untuk membuat perkiraanyang memadai serta penilaian
profesional yang relevan. Sebuah perusahaan yang memilikianak perusahaan dalam
jumlah yang cukup banyak dan bagian dari anak perusahaantersebut terbagi dalam
sistem akuntansi yang heterogen, maka akan meningkatkankompleksitas auditor
dalam bekerja (Ole dan Nielsen, 2010).
Biaya dan waktu yang dibutuhkan untuk perjalanan di berbagai lokasi
anakperusahaan yang berbeda akan meningkatkan fee audit. Selain itu, faktor
tipe industri darianak perusahaan melakukan aktivitas merupakan faktor penentu
kompleksitas audit (1985). Kemudian, ukuran perusahaan dinilai berdasarkan jumlah
aset yang dimilikinya akan mempengaruhi kegiatan operasional perusahaan dan
pertimbangan tambahan bagi auditor untuk melakukan jasa audit (Markku and
Schadewitz, 2010). Low et al (2005)
menyatakan bahwa ukuran perusahaan dapat dinilai melalui jumlah penjualan, laba
bersih setelah pajak,dan total aset perusahaan. Simunic (1996) berpendapat
bahwaperusahaan yang memiliki asetyang lebih besar akan mempunyai kemampuan di
atas perusahaan kecil dalam halmemperoleh modal. Hal ini berbanding lurus
dengan kemampuan membayar fee audit yanglebih tinggi dan konvergensi IFRS yang
membutuhkan biaya kepatuhan yang relatif mahal. De George et al (2013) menyebutkan
ukuran perusahaan terkait dengan keputusanmengadopsi IFRS dan berpengaruh terhadap pemilihan
kantor akuntan publik. Biaya auditterhadap konvergensi IFRS meningkat karena
adanya biaya persiapan atau biaya permulaan yangcukup tinggi. Selain itu, biaya
sertifikasi atas kemampuan menggunakan IFRS relatifmahal. Hal tersebut tampak
dari Big Four yang memiliki jangkauan seluruh dunia akanmengeluarkan biaya
sertifikasi yang cukup ‘menguras kantong’ perusahaan akibat IFRS. Menjelaskanhipotesis
ketiga, dari Big Four sendiri memiliki pertimbangan profesional, teknikal audit
dan reputasi yang lebihbaik sehingga fee audit yang dikenakan lebih besar
daripada pihak yang melakukannya jika non Big Four. Masa awalkonvergensi IFRS
dibutuhkan berbagai penyesuaian dan upaya yang ekstra. Big Fourterdiversifikasi
diseluruh dunia dengan segala penerapan isu internasional danpengalamannya. Big
Four dapat mengatasi risiko-risiko yang mungkin dihadapinya(Comprix et al,
2012). Big Four memainkan peran penting dalam menerapkan IFRS di seluruh dunia.
Halini terbukti seperti para auditor tergabung yang telah terbiasa untuk mengaudit
laporan keuanganberbasis IFRS dan mereka memiliki sumber daya yang dibutuhkan
untuk mempertahankanpengetahuan dan keahlian yang sesuai dalam IFRS (Sucher P
dan Irina J, 2004). Hubunganpositif antara jenis KAP dan fee audit terkait dengan Big Four lebih sering memperolehpremium fees yang tidak akan mempengaruhi
perikatan dan kualitas audit (Campa et al, 2013).Hal ini disebabkan bahwa
kelompok reputasi Big Four yang sudah memiliki posisi dominan di pasar audit,terutama
di kalangan perusahaan menengah keatas.
Dilihat dari pembahasan diatas yang menjelaskan beberapa
hal yang akan mempengaruhi tingkat fee
suatu audit maka di Indonesia pun harus siap jika memang ingin
perusahaan-perusahaan atau organisasi yang ada, ingin melangkah lebih maju
untuk dikenal dalam tingkatan internasional. Mungkin bisa dikatakan, ini adalah
harga yang harus dibayar untuk mendapatkan sesuatu yang lebih bermanfaat.
Banyak hal yang bahkan jauh lebih menguntungkan setelah mendapatkan pengakuan
perusahaan tersebut telah menerapkan IFRS. Jelas tidak hanya investor lokal,
namun investor asing pun akan tertarik seakan perusahaan tersebut telah
memiliki jaminan bahwa usaha yang dilakukan secara sehat dan mampu bersaing
selama ini. Tapi tetap saja adanya kendala dalam penerapan IFRS yang dianggap
sebagai metode baru di Indonesia, melahirkanisu-isu mengenai adanya keluhan
daripengguna laporan keuangan bahwa terlalu banyak informasi terkandung dalamlaporan
keuangan IFRS. Faktanya beberapa penelitian, salah satunya diungkapkan oleh Mc
Gregor (2012) bahwa semakin banyak perusahaan memilih untuk memasukkan semua
pengungkapan yang terkandung dalam IFRS tanpa menerapkan tes materialitas. Hal
ini yang menurutnya menyebabkan adanya istilah yang disebut sebagai Information Overload. Menurut Morunga
dan Bradbury (2012), muatan informasi yang tinggi menyebabkan penerapan modelkeputusan
yang kurang bersifat kognitif. Muatan informasi yang tinggi dalam suatulaporan
tahunan dapat membuat laporan tahunan tersebut menjadi lebih panjang.
Beberapa survey mengenai perubahan panjang laporan
tahunan akibatpenerapan IFRS telah dilakukan pada negara-negara yang lebih dulu
menerapkanIFRS. Survey yang dilakukan Deloitte terhadap Inggris menunjukkan
bahwa rata-ratalaporan keuangan lebih panjang 38% sejak IFRS pertama kali
diterapkan pada tahun2005 (Sheridan, tanpa tahun). KPMG dan FERF (2010) juga
melakukan survey yangsama terhadap Amerika Serikat dengan membandingkan laporan
tahunan tahun 2010dengan 2009, serta 2010 dengan 2004, hasilnya menunjukkan
laporan tahunan lebihpanjang.Beberapa penelitian telah membahas dampak dari
muatan informasi yangberlebihan yang terkandung dalam laporan keuangan.
McGregor (2012)mengungkapkan dampak dari penyajian informasi yang berlebihan
adalah mengenai keterbacaan(readability)
yang rendah. Pengguna laporan keuangan IFRS mengeluhkan laporankeuangan yang
menjadi terlalu rumit. Mereka menegaskan bahwa sulit bagi investordan analis
untuk memahami beberapa informasi untuk menilai informasi relatif yangmereka
butuhkan. Kemudian Boyd (2005) mengungkapkan bahwa information overload berkaitan dengan peningkatan waktu dan biaya
yang dibutuhkan karyawan.Karyawan menghabiskan sebagian besar waktu mereka
untuk mencari informasi yangtidak dapat mereka temukan, atau menciptakan
informasi yang ada. Waktu yangdigunakan untuk mencari informasi tersebut
senilai US $ 6 juta per tahun. Hal ini juga dibenarkan menurut hasil penelitian
dari saudari Cintantya Wasistha, bahwa adopsi yang dilakukan pada perusahaan publik
di Indonesia berdampak pada peningkatan panjang laporan keuangan khususnya pada
bagian kebijakan akuntansi dan catatan atas laporan keuangan. Hal ini
dikarenakanpada bagian kebijakan akuntansi dan catatan atas laporan keuangan
terdapatpenambahan panjang pengungkapan yang signifikan, misalnya
pengungkapanmengenai instrumen keuangan. Selain itu, hasil penelitiannya
menunjukkan bahwalate adopters
mengalami perubahan panjang laporan keuangan lebih besardibandingkan early adopters. Ini cukup sederhana dapat
dijelaskan, karena sebagai pelopor (early
adopters) sudah menerapkan IFRS dari awal perusahaantersebut sehingga
sistem sudah berjalan tanpa adanya perubahan. Sedangkan sebagai pengikut (late adopters) yang baru-baru saja ingin
merubah arah kiblatnya, tentu akan membutuhkan beberapa hal ‘ekstra’ seperti
yang dituturkan sebelumnya.
Dari beberapa hal sudah dibahas sebelumnya, maka dapat
disimpulkan jika perubahan yang akan dilakukan memang membutuhkan usaha lebih
untuk mencapainya. Sama hal nya dengan penerapan IFRS di Indonesia yang diakui
masih membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Namun adanya penyesuaian yang
pasti, diharapkan IFRS bukan justru sebagai kendala melainkan suatu inovasi
baru yang akan membantu bukan hanya perusahaan bahkan negara dalam mencapai
tujuan-tujuan awal yang telah ditargetkan. Adanya pembiasaan yang dilakukan
kedepannya akan memudahkan dalam implementasi, baik di tingkat pendidikan
ataupun prakteknya.
Daftar
Pustaka
Wulandari, Windy Ayu, 2015, ‘Pengaruh Konvergensi IFRS
Efektif Tahun 2012, Kompleksitas Akuntansi Dan Probabilitas Kebangkrutan
Perusahaan Terhadap Timeliness Dan
Manajemen Laba Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di Bursa Efek
Indonesia’, e-Journal Akuntansi Trisakti,
Vol.2, No.1, Hal.67-86, Universitas Trisakti
Cahyati, Ari Dewi, 2011, ‘Peluang Manajemen Laba Pasca
Konvergensi IFRS: Sebuah Tinjauan Teoritis Dan Empiris’, Jurnal JRAK, Vol.2,
No.1, UNISMA
Herawati, Nyoman Trisna, 2012, ‘Konvergensi International
Financial Reporting Standards (IFRS) Dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran
Akuntansi Pengantar Di Perguruan Tinggi’, Karya
ilmiah tidak dipublikasikan, Universitas Pendidikan Ganesha
Indrawati, Novita, 2014, ‘Pengaruh Karakteristik Perusahaan
Terhadap Adopsi Sukarela International Financial Reporting Standards Di
Indonesia’, Jurnal Akuntansi, Vol.2, No.2, Hal. 114-126
Hikmah, Luthfiany, 2013, ‘Analisis Perbedaan Prinsip
Konservatisme Akuntansi Dalam Penerepannya Di IFRS’, Accounting Analysis Journal, Universitas Negeri Semarang
Daljono, Willyza Purnama, 2013, ‘Pengaruh Ukuran
Perusahaan, Rasio Leverage, Intensitas Modal, Dan Likuiditas Perusahaan
Terhadap Konservatisme Perusahaan (Studi pada Perusahaan yang Belum Menggunakan
IFRS)’, Diponegoro Journal of Accounting,
Vol.2, No.3, Hal.1, Universitas Diponegoro
Marsono, Hanifah Kurnia, 2014, ‘Determinan Fee Audit Eksternal Dalam Konvergensi
IFRS’, Diponegoro Journal of Accounting,
Vol.3, No.2, Hal.1, Universitas Diponegoro
Intan, Puji Harto, 2014, ‘Pengaruh Konservatisma
Akuntansi Terhadap Manajemen Laba Dengan Kepemilikan Manajerial Sebagai
Variabel Pemoderasi’, Diponegoro Journal
of Accounting, Vol.3, No.3, Hal.1-11, Universitas Diponegoro
Patralalita, Cintantya Wasistha, 2014, ‘Dampak Adopsi
IFRS Terhadap Panjang Laporan Keuangan Pada Perusahaan Yang Terdaftar Di BEI’, Skripsi, Universitas Diponegoro
Isnaeni, Musdalifah, 2015, ‘Perbandingan Manajemen Laba
Sebelum Dan Saat Penerapan IFRS Pada Perusahaan Yang Terdaftar Di Bursa Efek
Indonesia (Studi Empirik Pada Perusahaan Property dan Real Estate), Skripsi, Universitas Hasanuddin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar