Selasa, 28 April 2015

Mengenal Perbedaan IFRS Dengan US GAAP dan Konvergensi Yang Terjadi Di Indonesia




Perkembangan IT pada era globalisasi ini mengarahkan pada masa di mana semua orang sangat membutuhkan dan mengakses sebuah informasi secara mudah, apalagi informasi mengenai perkembangan suatu perusahaan.Tidak hanya orang biasa, namun para pihak-pihak terkait misalnya saja investor pasti sangatlah tertarik dengan harapan mampu menginvestasikan modalnya pada perusahaan yang memiliki prospek masa depan yang baik.Seperti yang sudah dibahas pada artikel sebelumnya, IFRS memang memiliki peran penting sebagai jembatan penyampaian informasi pelaporan suatu organisasi atau perusahaan. Tidak hanya dunia bagian Eropa saja, akan tetapi negara-negara yang berada di kawasan Asia juga sudah mulai mengadopsi IFRS. Salah satu negara yang perlahan mulai mengadopsi nya adalah Indonesia. Meski belum secara maksimal terlaksana, namun ada nya progress sebagai titik terang bahwa Indonesia mengikuti perkembangan yang ada.
Sebelum lebih jauh pembahasannya, ada baiknya mengetahui apa saja perbedaan antara IFRS dengan US GAAP. Karena pada artikel sebelumnya sempat membahasnya, namun belum jelas dipaparkan perbedaannya. Beberapa perbedaaan IFRS dengan US GAAP yaitu :
1.                Nilai Wajar
Sebelum digunakan IFRS akuntansi menggunakan historical cost untuk pengukurantransaksinya. Historical Cost merupakan jumlah kas atau setara kas yang dibayarkan atau nilai wajarimbalan lain yang diserahkan untuk memperoleh aset pada saat perolehan atau konstruksi, atau jikadapat diterapkan jumlah yang dapat diatribusikan langsung  ke aset pada saat pertama kali diakuisesuai dengan persyaratan tertentu didalam PSAK lain (PSAK 19, revisi 2009). Kelemahan darihistorical cost adalah kurang mencerminkan kondisi yang sebenarnya. Contohnya saja, perusahaan membelibangunan pada tanggal 2 januari 2008 biaya perolehan tanah Rp.300.000.000, diestimasi bangunanmempunyai umur ekonomis 15 tahun dan disusutkan dengan metode garis lurus, maka pada akhirtahun 2010 nilai tercatat bangunan di dalam laporan posisi keuangan sebesar Rp 260.000.000.  Karenapeningkatan nilai strategis lingkungan biaya perolehan bangunan serupa pada akhir tahun 2010 padasaat pelaporan  menjadi naik 2 kali lipat sehingga  biaya historis tidak mencerminkan nilai aset  yangsebenarnya. Keunggulan dari historical cost adalah bahwa historical cost lebih objektif  dan lebihverifiable karena didasarkan pada transaksi, namun demikian pihak manajemen bisa memanfaatkankelemahan historical cost untuk melakukan manajemen laba, misalnya pada saat kinerja perusahaansedang buruk apabila nilai wajar aset pada tanggal pelaporan lebih besar dari nilai tercatatnya makapihak manajemen akan menjual aset tersebut sehingga ada keuntungan yang terjadi akan diakui di dalamlaporan laba rugi.
Standar IFRS lebih mengarah pada penggunaan nilai wajar, terutama properti investasi, beberapa aset tak berwujud, aset keuangan, dan aset biologis. Dengan demikian maka diperlukan sumber daya yang kompeten untuk menghitung nilai wajar atau bahkan perlu menyewa jasa konsultan penilai terutama untuk asset-aset yang tidak memiliki nilai pasar aktif. Nilai wajar (fair value) adalahsuatu jumlah yang dapat digunakan sebagai dasar pertukaran asset atau penyelesaian kewajiban antara pihak yang paham (knowledgeable) dan berkeinginan untuk melakukan transaksi wajar (arm's lengthtransaction). (IAI,2009).  Keuntungan digunakan nilai wajar adalah bahwa pos-pos aset dan liabilitasyang dimiliki lebih mencerminkan nilai yang sebenarnya pada saat tanggal laporan keuangan. Namunterdapat argumenyang menolak penggunaan nilai wajar yang menyatakan bahwa penggunaan nilaiwajar menyebabkan volatilitas dalam laporan keuangan dan mengurangi prediksi dari laba. Namun jikapenggunaan nilai wajar menyebabkan volatilitas yang tinggi hal tersebut sebenarnya hanya mengungkapkan realitas ekonomi yang sebenarnya (Siregar, 2010).  Dengan demikian peralihan daribiaya historis ke nilai wajar diharapkan akan mengurangi manajemen laba yang dilakukan olehperusahaan.
2.                Principal Based
Sebelum konvergensi ke IFRS, standar akuntansi di Indonesia menggunakan US GAAP yang dirumuskan oleh FASB. US GAAP merupakan standar yang rules based (berbasis aturan). Standaryang berbasis aturan  akan meningkatkan konsistensi dan keterbandingan antar perusahaan dan antarwaktu, namun di sisi lain mungkin kurang relevan karena ketidakmampuan standar merefleksi kejadianekonomi entitas yang berbeda antar perusahaan dan antar waktu. Standar berbasis aturan juga akan mengakibatkan munculnya standar-standar akuntansi untuk industri tertentu misalnya saja akuntansipenyelenggaraan jalan tol, akuntansi koperasi, akuntansi kehutanan, akuntansi perbankan. Padahalsecara prinsip terdapat kesamaan untuk standar akuntansi tersebut dari sisi pengakuan pendapatan danpengakuan aset. Semakin banyak aturan, maka aturan tersebut akan semakin memiliki banyak celah untuk dilanggar. Hal ini mengakibatkan aturan akan semakin banyak untuk menutup celah-celah yanglain. Standar yang detail juga menyediakan insentif bagi manajemen untuk mengatur transaksi sesuai hasil yang diharapkan berdasarkan aturan dalam standar. Auditorpun menjadi lebih sulit untukmenolak manipulasi yang dilakukan oleh manajemen ketika ada aturan detail yang menjustifikasinya.Disamping itu Standar yang detail tidak dapat memenuhi tantangan perubahan kondisi keuangan yangkompleks dan cepat. Standar yang detail  juga menyajikan dengan aturan (form) tapi tidak merefleksikejadian ekonomi yang mendasarinya secara substansial. Berbeda dengan US GAAP yang berbasis aturan standar akuntansi IFRS berbasis prinsip. Pengaturan pada tingkat prinsip akan meliputi segala hal dibawahnya. Namun memiliki kelemahan seperti akandibutuhkan penalaran, judgement, dan pemahaman yang cukup mendalam dari pembaca aturan dalammenerapkannya. Standar semacam ini konsisten dengan tujuan pelaporan keuangan untuk dapatmenggambarkan kejadian yang sesungguhnya di perusahaan. Standar berbasis prinsip memberikeunggulan dalam hal memungkinkan manajer memilih perlakuan akuntansi yang merefleksikan
transaksi atau kejadian ekonomi yang mendasarinya, meskipun hal sebaliknya dapat terjadi. Standar berbasis prinsip memungkinkan manajer, anggota komite audit, dan auditor menerapkan judgment profesionalnya untuk lebih fokus pada merefleksi kejadian atau transaksi ekonomi secara substansial,tidak sekedar melaporkan transaksi atau kejadian ekonomi sesuai dengan standar.
3.                Persyaratan pengungkapan yang lebih banyak dan lebih rinci
IFRS mensyaratkan pengungkapan berbagai informasi tentang risiko baik kualitatif maupun kuantitatif. Pengungkapan dalam laporan keuangan harus sejalan dengan data/informasi yang dipakaiuntuk pengambilan keputusan yang diambil oleh manajemen. Tingkat pengungkapan yang makinmendekati pengungkapan penuh (full disclosure) akan mengurangi tingkat asimetri informasi(ketidakseimbangan informasi) ketidakseimbanagan informasi antara manajer dengan pihak penggunalaporan keuangan. Asimetri informasi adalah kondisi dimana manajer mempunyai informasi superiordibandingkan dengan pihak laik. Oleh karena itu manajer akan melakukan diysfunctional behaviordengan melakukan manajemen laba terutama jika informasi tersabut terkait dengan pengukuran kinerja manajer.  Jadi dapat disimpulkan kondisi informasi asimteri  inilah yang merupakan kondisi yangdibutuhkan  untuk dilakukannya manajemen laba. Dengan kata lain tingkat pengungkapan memilikihubungan negatif dengan manajemen laba hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan olehSiregar dan Bachtiar (2003) menemukan bahwa perusahaan yang melakukan manajemen labacenderung mengungkapkan informasi lebih sedikit dalam laporan keuangannya agar tidak terdeteksi.Perusahaan dengan tingkat pengungkapan minimal cenderung melakukan manajemen laba dansebaliknya.
Kembali ke pembahasan, konvergensi IFRS yang terjadi di Indonesia meningkatkan kebutuhan atas jasa audit dan fee dari hasil kegiatan pengadopsian tersebut. Auditor berhak memperoleh fee terkaitatas jasa profesionalnya. Peraturan mengenai dasar pengenaan fee audit telah ditetapkanoleh Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) yang menerbitkan Surat Keputusan No.KEP.024/IAPI/VII/2008 tentang Kebijakan Penentuan Fee Audit.Konvergensi IFRS ternyata menimbulkan suatu efek ketidakpastian dalam lingkungan pelaporan keuangan. Ketidakpastian akibat IFRS berkontribusi terhadap peningkatan biaya kepatuhanyang dihadapi oleh perusahaan. De Georgeet al (2013) menyebutkan bahwa ketidakpastian yang terjadi dalam lingkungan pelaporan keuangan meningkatkan pengawasan ex postinvestor atas laporan keuangan berbasis IFRS yang relatif baru. Selain itu, adanyapeningkatan kompleksitas audit dalam konvergensi IFRS terkait dengan adanya kenaikkanupaya audit dan level kesulitan penugasan oleh auditor. Transisi standar akuntansi lokal kebasis IFRS membuat ekstra risiko pada klien dan memakan waktu kerja lebih lama bagiauditor. Lamanya proses audit maka akan berpengaruh pada fee yang dibebankan (Simunic et al 1996; Comprix et al 2012).Konvergensi IFRS menyebabkan risiko litigasi pada pelaporan keuangan meningkat. Bentuk risiko litigasi yang akan dihadapi auditor adalah kesalahan (misstatement) dalam penyajian laporan keuangan. Teo-Eu Jin et al (2000) dan Krishnan et al (2005) mengemukakan pendapatnya bahwa hubungan negatif dapat tercipta jika risiko litigasi menyebabkan kegagalanaudit yang akan merugikan auditor dari segi reputasi dan nama baik KAP. Untukmengatasi kondisi yang kurang menguntungkan tersebut, setiap negara membutuhkan peraturan hukum yang berlakuuntuk meminimalisasi risiko litigasi (Kim et al, 2012).
Namun, Martani (2013) menyatakan bahwa konvergensi IFRS di Indonesia tidak mengakibatkan sistem akuntansi klien mengalami perubahan yang besar. Hal inidikarenakan konvergensi IFRS di Indonesia hanya mengalami persamaan substansi atassuatu standar akuntansi. Jadi konvergensi IFRS lebih berdampak langsung pada perusahaan besaryang memiliki kegiatan operasional di luar negeri. Perusahaan-perusahaan besar yang memiliki anakperusahaan dan kombinasi bisnis yang tersebar di luar negeri memilih Big Four karenamembutuhkan pertimbangan IFRS lebih besar dibandingkan perusahaan lokal. Disini, Saudari Hanifah Kurnia Ulfasari dan Marsono melakukan penelitian yang ada kaitannya dengan audit dan auditor. Dalam penelitiannya yang berjudul Determinan Fee Audit Eksternal Dalam Konvergensi IFRS, memiliki tujuan yaitu apa saja faktor-faktor yang dapat mempengaruhi komisi atau imbalan pada audit eksternal. Beberapa hal yang dapat mempengaruhi yaitu :
1.      Adanya pengaruh kompleksitas perusahaan terhadap fee audit eksternal dalam konvergensi IFRS,
2.      Adanya pengaruh ukuran perusahaan terhadap fee audit eksternal dalam konvergensi IFRS,
3.      Adanya pengaruh risiko litigasi terhadap fee audit eksternal dalam konvergensi IFRS,
4.      Adanya pengaruh ukuran KAP terhadap fee audit eksternal dalam konvergensi IFRS dan;
5.      Adanya pengaruh pergantian KAP terhadap fee audit eksternal dalam konvergensi IFRS.

Dari penelitian tersebut dihasilkan beberapa pengaruh yang berdampak pada perusahaan non keuangan, yang mana sebagai objek penelitian tersebut. Ternyata ada tiga hipotesis yang diterima sebagai hal-hal yang berpengaruh pada fee audit eksternal, yaitu kompleksitas perusahaan, ukuran perusahaan, dan ukuran KAP. Sedangkan risiko litigasi dan pergantian KAP tidak berpengaruh.  Mengapa demikian? Sebagai mana yang dijelaskan oleh Kim et al(2012) dan De George et al (2013) bahwa adopsi IFRS meningkatkan kompleksitas audit. Hal ini disebabkan IFRS bersifat komprehensif, berorientasi pada fair-value, danprinciple based. Penerapan IFRS membutuhkan auditor handal untuk membuat perkiraanyang memadai serta penilaian profesional yang relevan. Sebuah perusahaan yang memilikianak perusahaan dalam jumlah yang cukup banyak dan bagian dari anak perusahaantersebut terbagi dalam sistem akuntansi yang heterogen, maka akan meningkatkankompleksitas auditor dalam bekerja (Ole dan Nielsen, 2010).  Biaya dan waktu yang dibutuhkan untuk perjalanan di berbagai lokasi anakperusahaan yang berbeda akan meningkatkan fee audit. Selain itu, faktor tipe industri darianak perusahaan melakukan aktivitas merupakan faktor penentu kompleksitas audit (1985). Kemudian, ukuran perusahaan dinilai berdasarkan jumlah aset yang dimilikinya akan mempengaruhi kegiatan operasional perusahaan dan pertimbangan tambahan bagi auditor untuk melakukan jasa audit (Markku and Schadewitz, 2010). Low et al (2005) menyatakan bahwa ukuran perusahaan dapat dinilai melalui jumlah penjualan, laba bersih setelah pajak,dan total aset perusahaan. Simunic (1996) berpendapat bahwaperusahaan yang memiliki asetyang lebih besar akan mempunyai kemampuan di atas perusahaan kecil dalam halmemperoleh modal. Hal ini berbanding lurus dengan kemampuan membayar fee audit yanglebih tinggi dan konvergensi IFRS yang membutuhkan biaya kepatuhan yang relatif mahal. De George et al (2013)  menyebutkan ukuran perusahaan terkait dengan keputusanmengadopsi  IFRS dan berpengaruh terhadap pemilihan kantor akuntan publik. Biaya auditterhadap konvergensi IFRS meningkat karena adanya biaya persiapan atau biaya permulaan yangcukup tinggi. Selain itu, biaya sertifikasi atas kemampuan menggunakan IFRS relatifmahal. Hal tersebut tampak dari Big Four yang memiliki jangkauan seluruh dunia akanmengeluarkan biaya sertifikasi yang cukup ‘menguras kantong’ perusahaan akibat IFRS. Menjelaskanhipotesis ketiga, dari Big Four sendiri memiliki pertimbangan profesional, teknikal audit dan reputasi yang lebihbaik sehingga fee audit yang dikenakan lebih besar daripada pihak yang melakukannya jika non Big Four. Masa awalkonvergensi IFRS dibutuhkan berbagai penyesuaian dan upaya yang ekstra. Big Fourterdiversifikasi diseluruh dunia dengan segala penerapan isu internasional danpengalamannya. Big Four dapat mengatasi risiko-risiko yang mungkin dihadapinya(Comprix et al, 2012). Big Four memainkan peran penting dalam menerapkan IFRS di seluruh dunia. Halini terbukti seperti para auditor tergabung yang telah terbiasa untuk mengaudit laporan keuanganberbasis IFRS dan mereka memiliki sumber daya yang dibutuhkan untuk mempertahankanpengetahuan dan keahlian yang sesuai dalam IFRS (Sucher P dan Irina J, 2004). Hubunganpositif antara jenis KAP dan fee audit terkait dengan Big Four lebih sering memperolehpremium fees yang tidak akan mempengaruhi perikatan dan kualitas audit (Campa et al, 2013).Hal ini disebabkan bahwa kelompok reputasi Big Four yang sudah memiliki posisi dominan di pasar audit,terutama di kalangan perusahaan menengah keatas.

Dilihat dari pembahasan diatas yang menjelaskan beberapa hal yang akan mempengaruhi tingkat fee suatu audit maka di Indonesia pun harus siap jika memang ingin perusahaan-perusahaan atau organisasi yang ada, ingin melangkah lebih maju untuk dikenal dalam tingkatan internasional. Mungkin bisa dikatakan, ini adalah harga yang harus dibayar untuk mendapatkan sesuatu yang lebih bermanfaat. Banyak hal yang bahkan jauh lebih menguntungkan setelah mendapatkan pengakuan perusahaan tersebut telah menerapkan IFRS. Jelas tidak hanya investor lokal, namun investor asing pun akan tertarik seakan perusahaan tersebut telah memiliki jaminan bahwa usaha yang dilakukan secara sehat dan mampu bersaing selama ini. Tapi tetap saja adanya kendala dalam penerapan IFRS yang dianggap sebagai metode baru di Indonesia, melahirkanisu-isu mengenai adanya keluhan daripengguna laporan keuangan bahwa terlalu banyak informasi terkandung dalamlaporan keuangan IFRS. Faktanya beberapa penelitian, salah satunya diungkapkan oleh Mc Gregor (2012) bahwa semakin banyak perusahaan memilih untuk memasukkan semua pengungkapan yang terkandung dalam IFRS tanpa menerapkan tes materialitas. Hal ini yang menurutnya menyebabkan adanya istilah yang disebut sebagai Information Overload. Menurut Morunga dan Bradbury (2012), muatan informasi yang tinggi menyebabkan penerapan modelkeputusan yang kurang bersifat kognitif. Muatan informasi yang tinggi dalam suatulaporan tahunan dapat membuat laporan tahunan tersebut menjadi lebih panjang.

Beberapa survey mengenai perubahan panjang laporan tahunan akibatpenerapan IFRS telah dilakukan pada negara-negara yang lebih dulu menerapkanIFRS. Survey yang dilakukan Deloitte terhadap Inggris menunjukkan bahwa rata-ratalaporan keuangan lebih panjang 38% sejak IFRS pertama kali diterapkan pada tahun2005 (Sheridan, tanpa tahun). KPMG dan FERF (2010) juga melakukan survey yangsama terhadap Amerika Serikat dengan membandingkan laporan tahunan tahun 2010dengan 2009, serta 2010 dengan 2004, hasilnya menunjukkan laporan tahunan lebihpanjang.Beberapa penelitian telah membahas dampak dari muatan informasi yangberlebihan yang terkandung dalam laporan keuangan. McGregor (2012)mengungkapkan dampak dari penyajian informasi yang berlebihan adalah mengenai keterbacaan(readability) yang rendah. Pengguna laporan keuangan IFRS mengeluhkan laporankeuangan yang menjadi terlalu rumit. Mereka menegaskan bahwa sulit bagi investordan analis untuk memahami beberapa informasi untuk menilai informasi relatif yangmereka butuhkan. Kemudian Boyd (2005) mengungkapkan bahwa information overload berkaitan dengan peningkatan waktu dan biaya yang dibutuhkan karyawan.Karyawan menghabiskan sebagian besar waktu mereka untuk mencari informasi yangtidak dapat mereka temukan, atau menciptakan informasi yang ada. Waktu yangdigunakan untuk mencari informasi tersebut senilai US $ 6 juta per tahun. Hal ini juga dibenarkan menurut hasil penelitian dari saudari Cintantya Wasistha, bahwa adopsi yang dilakukan pada perusahaan publik di Indonesia berdampak pada peningkatan panjang laporan keuangan khususnya pada bagian kebijakan akuntansi dan catatan atas laporan keuangan. Hal ini dikarenakanpada bagian kebijakan akuntansi dan catatan atas laporan keuangan terdapatpenambahan panjang pengungkapan yang signifikan, misalnya pengungkapanmengenai instrumen keuangan. Selain itu, hasil penelitiannya menunjukkan bahwalate adopters mengalami perubahan panjang laporan keuangan lebih besardibandingkan early adopters. Ini cukup sederhana dapat dijelaskan, karena sebagai pelopor (early adopters) sudah menerapkan IFRS dari awal perusahaantersebut sehingga sistem sudah berjalan tanpa adanya perubahan. Sedangkan sebagai pengikut (late adopters) yang baru-baru saja ingin merubah arah kiblatnya, tentu akan membutuhkan beberapa hal ‘ekstra’ seperti yang dituturkan sebelumnya.

Dari beberapa hal sudah dibahas sebelumnya, maka dapat disimpulkan jika perubahan yang akan dilakukan memang membutuhkan usaha lebih untuk mencapainya. Sama hal nya dengan penerapan IFRS di Indonesia yang diakui masih membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Namun adanya penyesuaian yang pasti, diharapkan IFRS bukan justru sebagai kendala melainkan suatu inovasi baru yang akan membantu bukan hanya perusahaan bahkan negara dalam mencapai tujuan-tujuan awal yang telah ditargetkan. Adanya pembiasaan yang dilakukan kedepannya akan memudahkan dalam implementasi, baik di tingkat pendidikan ataupun prakteknya.







Daftar Pustaka
Wulandari, Windy Ayu, 2015, ‘Pengaruh Konvergensi IFRS Efektif Tahun 2012, Kompleksitas Akuntansi Dan Probabilitas Kebangkrutan Perusahaan Terhadap Timeliness Dan Manajemen Laba Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia’, e-Journal Akuntansi Trisakti, Vol.2, No.1, Hal.67-86, Universitas Trisakti
Cahyati, Ari Dewi, 2011, ‘Peluang Manajemen Laba Pasca Konvergensi IFRS: Sebuah Tinjauan Teoritis Dan Empiris’, Jurnal JRAK, Vol.2, No.1, UNISMA
Herawati, Nyoman Trisna, 2012, ‘Konvergensi International Financial Reporting Standards (IFRS) Dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Akuntansi Pengantar Di Perguruan Tinggi’, Karya ilmiah tidak dipublikasikan, Universitas Pendidikan Ganesha
Indrawati, Novita, 2014, ‘Pengaruh Karakteristik Perusahaan Terhadap Adopsi Sukarela International Financial Reporting Standards Di Indonesia’, Jurnal Akuntansi, Vol.2, No.2, Hal. 114-126
Hikmah, Luthfiany, 2013, ‘Analisis Perbedaan Prinsip Konservatisme Akuntansi Dalam Penerepannya Di IFRS’, Accounting Analysis Journal, Universitas Negeri Semarang
Daljono, Willyza Purnama, 2013, ‘Pengaruh Ukuran Perusahaan, Rasio Leverage, Intensitas Modal, Dan Likuiditas Perusahaan Terhadap Konservatisme Perusahaan (Studi pada Perusahaan yang Belum Menggunakan IFRS)’, Diponegoro Journal of Accounting, Vol.2, No.3, Hal.1, Universitas Diponegoro
Marsono, Hanifah Kurnia, 2014, ‘Determinan Fee Audit Eksternal Dalam Konvergensi IFRS’, Diponegoro Journal of Accounting, Vol.3, No.2, Hal.1, Universitas Diponegoro
Intan, Puji Harto, 2014, ‘Pengaruh Konservatisma Akuntansi Terhadap Manajemen Laba Dengan Kepemilikan Manajerial Sebagai Variabel Pemoderasi’, Diponegoro Journal of Accounting, Vol.3, No.3, Hal.1-11, Universitas Diponegoro
Patralalita, Cintantya Wasistha, 2014, ‘Dampak Adopsi IFRS Terhadap Panjang Laporan Keuangan Pada Perusahaan Yang Terdaftar Di BEI’, Skripsi, Universitas Diponegoro
Isnaeni, Musdalifah, 2015, ‘Perbandingan Manajemen Laba Sebelum Dan Saat Penerapan IFRS Pada Perusahaan Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia (Studi Empirik Pada Perusahaan Property dan Real Estate), Skripsi, Universitas Hasanuddin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar