Dunia bisnis saat ini berkembang dengan sangat pesat.
Perkembangan tersebut terjadi dalam semua sektor industri. Semua entitas bisnis
berupaya keras untuk meningkatkan kualitas bisnisnya. Peningkatan kualitas
entitas bergantung pada informasi ekonomi yang bisa menjelaskan keberadaan dan
perkembangan entitas tersebut bagi pihak-pihak lain yang berhubungan dengan
entitas. Penyajian informasi terkait dengan aktivitas ekonomi entitas
dapatdilakukaan melalui penyajian laporan keuangan. Laporan keuangan merupakan
sarana yang bisa digunakan oleh entitas untuk mengkomunikasikan keadaan terkait
dengan kondisi keuangannya kepada pihak-pihak yang berkepentingan baik yang
berasal dari internal entitas maupun eksternal entitas. Menurut PSAK No. 1
(2009: 13), laporan keuangan adalah penyajian terstruktur dari posisi keuangan
dan kinerja keuangan suatu entitas. Tujuan laporan keuangan adalah memberikan
informasi mengenai posisi keuangan, kinerja keuangan, dan arus kas entitas yang
bermanfaat bagi sebagian besar kalangan pengguna laporan dalam pembuatan
keputusan ekonomi (PSAK No.1,2009:05). Laporan keuangan juga menjadi wujud
pertanggungjawaban manajemen atas penggunaan banyak sumber daya yang dimiliki
entitas dan digunakan untuk menjalankan roda bisnis entitas.
Perlu kita ketahui manajer sebagai pengelola perusahaan
lebih banyak mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan di masa yang
akan datang dibandingkan pemilik (pemegang saham). Oleh karena itu sebagai
pengelola, manajer berkewajiban memberikan sinyal mengenaikondisi perusahaan
kepada pemilik. Sinyal yang diberikan dapat dilakukan melalui pengungkapan
informasi akuntansi seperti laporan keuangan. Situasi ini akan memicumunculnya
suatu kondisi yang disebut sebagai asimetri informasi (information asymmetry). Yaitu suatu kondisi di mana ada
ketidakseimbangan perolehan informasi antara pihakmanajemen sebagai penyedia
informasi (prepaper) dengan pihak
pemegang saham dan stakeholder pada
umumnya sebagai pengguna informasi (user).
Menurut Scott (2000), terdapat dua macam asimetri informasi yaitu:
1.
Adverse selection, yaitu bahwa para manajer serta orang-orang dalam
lainnya biasanya mengetahui lebih banyak tentang keadaan dan prospek perusahaan
dibandingkan investorpihak luar. Dan fakta yang mungkin dapat mempengaruhi
keputusan yang akan diambil oleh pemegang saham tersebut tidak disampaikan
informasinya kepada pemegang saham.
2.
Moral hazard, yaitu bahwa kegiatan yang dilakukan oleh seorang manajer tidak seluruhnya
diketahui oleh pemegang saham maupun pemberi pinjaman. Sehinggamanajer dapat
melakukan tindakan diluar pengetahuan pemegang saham yang melanggar kontrak dan
sebenarnya secara etika atau norma mungkin tidak layak dilakukan. Adanya
asimetri informasi memungkinkan adanya konflik yang terjadi antara principal dan agent untuk saling
mencoba memanfatkan pihak lain untuk kepentingan sendiri.
Tingginya peranan laporan keuangan dalam sebuah sistem
industri membuat keberadaan laporan keuangan sangat dibutuhkan, tentunya dengan
kualitas laporan keuangan yang baik. Mengingat fungsi penting dari laporan
keuangan, maka mutlak bagi entitas untuk melakukan penyusunan laporan keuangan
dengan baik, benar, dan sesuai standar yang berlaku. Hal ini ditujukan agar tidak
terjadi asimetri informasi di kalangan pengguna laporan keuangan. Sehubungan dengan upaya penyusunan laporan
keuangan yang baik, pemilihan dan penggunaan metode akuntansi yang tepat
menjadi hal yang harus diperhatikan. Metode akuntansi yang digunakan harus
disesuaikan dengan jenis industri yang dijalankan oleh entitas tersebut. Perbedaan
jenis industri dan skala kegiatan entitas menyebabkan pemilihan dan penggunaan metode
akuntansi yang berbeda pula. Pemilihan metode akuntansi yang tepat untuk digunakan
oleh entitas akan dapat memastikan kesesuaian terhadap pengakuan, pengukuran,
penyajian dan pengungkapan untuk masing-masing elemen laporan keuangan dengan
standar yang berlaku.Perbedaan penggunaan metode untuk perlakuan akuntansi
entitas sangat mungkin terjadi, khususnya pada beberapa jenis industri yang
unik dan memiliki karakteristik khusus. Kondisi wilayah Indonesia yang cocok
untuk industri pertanian dan perkebunan menjadi satu alasan tersendiri mengapa
di Indonesia banyak tumbuh entitas yang bergerak di duniaagribisnis.
Entitas yang bergerak pada sektor industri agribisnis,
utamanya bidang perkebunan, merupakan salah satu contoh dari entitas dengan
karakteristik khusus terkait dengan penyusunanlaporan keuangannya. Skala usaha
dari entitas-entitas tersebut juga beragam, mulai dari entitasyang berskala
bisnis kecil setaraf UMKM yang belum go
public hingga pada entitas denganskala bisnis yang besar dan sudah go
public. Entitas bisnis yang bergerak di bidang perkebunan memiliki dan
mengelola aset biologisberupa tanaman perkebunan yang cenderung lebih rumit
perlakuannya. Proses pengakuan,pengukuran, penyajian dan pengungkapan untuk
sisi aset entitas, terutama pada bagian asetbiologisnya, membutuhkan pemahaman
yang lebih detail. Hal ini dikarenakan, padaperkembangannya saat ini, aset
biologis akan mengalami klasifikasi yang berulang di sepanjangumur ekonomisnya
akibat transformasi bentuk aset tersebut. Keberadaan aset biologis bagientitas
bisnis yang bergerak di bidang perkebunan menjadi sangat unik dan krusial
karena jenisaset ini merupakan komoditas utama entitas. Aktivitas utama entitas
dalam pengelolaan asetbiologis mulai dari penanaman hingga bisa menghasilkan
produk yang bisa dijual harusdikelompokkan dengan benar agar bisa menghasilkan
laporan keuangan yang relevan, andal, dan dapat diperbandingkan. Pengukuran,
pengakuan, dan penyajian terhadap aset biologis harus menggunakan
metodeakuntansi yang tepat agar entitas bisa menentukan nilai dari semua
kelompok aset biologisnyadengan wajar. Kewajaran penilaian aset biologis ini
juga harus disesuaikan dengan kontribusidari aset tersebut pada keuntungan
entitas. Ini dilakukan untuk memenuhi prinsip kesesuaianantara pendapatan dan
beban (matching) dalam penyusunan
laporan keuangan entitas.
Apabilaentitas sudah mampu menilai secara wajar maka
laporan keuangan yang akan disusun olehentitas juga akan menampilkan informasi
yang sesungguhnya terjadi di lapangan pada entitastersebut. Sehingga, laporan
keuangan yang dihasilkan tidak akan bias dan dapat memberikaninformasi ekonomi
yang benar kepada para penggunanya. Entitas yang bergerak di bidang industri
perkebunan juga wajib menyusun laporankeuangannya sesuai dengan standar yang
berlaku, dalam hal ini di Indonesia. Standar akuntansikeuangan menjadi pedoman
utama dalam menyusun laporan keuangannya. Terkait denganpengelolaan aset
biologis pada entitas bisnis perkebunan yang menjadi isu penelitian ini,
standarakuntansi yang berlaku di Indonesia, yaitu SAK, tidak memunculkan secara
spesifik tentangakuntansi perkebunan atau akuntansi untuk aset biologis. Namun
demikian, ada beberapaperaturan yang bisa digunakan sebagai acuan untuk
akuntansi aset biologis pada entitas bisnisyang bergerak di bidang perkebunan
ini, seperti: Surat Edaran Ketua Badan Pengawas PasarModal (Bapepam) No:
SE-02/PM/2002 tentang Pedoman Penyajian dan Pengungkapan LaporanKeuangan Emiten
atau Perusahaan Publik Industri Perkebunan, Pedoman Akuntansi PerkebunanBUMN
Berbasis IFRS yang dikeluarkan oleh PT. Perkebunan Nusantara I-IV dan
IkatanAkuntan Indonesia (IAI) tahun 2011, PSAK 14 tentang Persediaan, PSAK 16
tentang AsetTetap, IAS 41 tentang Agricultural Asset, dan SAK ETAP. Beberapa
acuan tersebut dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi manajemen
untukmenyajikan laporan keuangan yang andal. Manajemen harus tetap membuat
kebijakan yang bisamenjamin bahwa laporan keuangan yang mereka susun bisa
dipercaya dan andal, sehingga parapengguna laporan keuangan tetap bisa
menggunakannya sebagai bahan pertimbangan utamauntuk memutuskan tindakan
ekonomi atas entitas ini.
Di dalam Standar Akuntansi Keuangan yang digunakan di
Indonesia, belum ada pernyataan yang spesifik yang mengatur mengenai perlakuan
akuntansi khusus bagi industriperkebunan. Selama ini hanya ada PSAK 32 yang
mengatur mengenai akuntansi kehutanan, yangjuga ikut diterapkan dalam industri
perkebunan. PSAK 32 ini sudah dicabut oleh IAI dan tidakdipergunakan lagi
sebagai suatu standar akuntansi di Indonesia. Standar yang khusus
mengenaipengungkapan atau pelaporan aset biologis belum ada. Dengan demikian,
penyusunan laporankeuangan bagi entitas perkebunan dilakukan berdasarkan
penyesuaian terhadap konsep danprinsip umum mengenai pelaporan keuangan seperti
yang dijelaskan pada PSAK No. 1,Peraturan Bapepam tentang industri perkebunan,
dan pedoman akuntansi lain yang sesuai.Secara umum, metode akuntansi yang dapat
diterapkan oleh manajemen entitas perkebunanadalah metode pencatatan dengan
biaya historis (historical cost method).
Standar akuntansikeuangan lain yang relevan dengan perlakuan akuntansi aset
biologis pada industri perkebunandapat berupa pedoman teknis dalam berbagai
bentuk, yaitu: Pedoman Akuntansi PerkebunanBUMN Berbasis IFRS yang dikeluarkan
oleh PT. Perkebunan Nusantara I-IV dan IkatanAkuntan Indonesia (IAI) tahun
2011, PSAK No.14 Revisi 2008 tentang Persediaan, PSAK No.16 Revisi 2011 tentang
Aset Tetap, IAS 41 tentang Agricultural
Asset, PSAK No. 23 Revisi2010 tentang Pendapatan, dan PSAK No. 48 Revisi
2009 tentang Penurunan Nilai Aset.
Menurut PSAK No. 1 (2009: 13), laporan keuangan adalah penyajian
terstruktur dari posisi keuangan dan kinerja keuangan suatu entitas. Laporan
ini menampilkan sejarah entitas yangdikuantifikasi dalam nilai moneter (Kieso,
2010). Laporan keuangan merupakan sarana yang bisadigunakan oleh entitas untuk
mengkomunikasikan keadaan terkait dengan kondisi keuangannyakepada pihak-pihak
yang berkepentingan baik yang berasal dari internal entitas maupun eksternal
entitas. Tujuan adanya laporan keuangan menurut SFAC No. 1 terbagi dalam tiga
bagian utamayaitu untuk: dasar penilaian dalam kepentingan investasi dan
kredit, membantu menetapkanaliran kas entitas di masa depan, dan menjelaskan
tentang sumber daya yang dimiliki olehentitas, klaim atas sumber daya tersebut,
dan segala bentuk perubahan sumber daya. Untukmemenuhi semua tujuannya, maka
laporan keuangan dibuat dengan komponen lengkap yangterdiri dari: laporan
posisi keuangan (neraca) pada akhir periode, laporan laba rugi
komprehensifselama periode, laporan perubahan ekuias selama periode, laporan arus
kas selama periode, catatan atas laporan keuangan, dan laporan posisi keuangan
pada awal periode komparatif yangdisajikan ketika entitas menerapkan suatu
kebijakan akuntansi restrospektif atau membuatpenyajian kembali pos-pos laporan
keuangan atau ketika entitas mereklasifikasi pos-pos dalamlaporan keuangannya.Dalam
penyajian aset biologis di laporan keuangan dengan menggunakan konsep biaya historis,
aset biologis berupa tanaman perkebunan dikelompokkan dalam akun persediaan
danakun aset tidak lancar. Akun persediaan akan menampung tanaman perkebunan
yang telah siapdijual menurut jenis usaha entitas. Akun aset tidak lancar akan
menampung tanaman perkebunanmilik entitas yang belum bisa dijual karena masih
mengalami proses pertumbuhan. Persediaandalam industri perkebunan disajikan
sebesar biaya perolehan atau nilai realisasi bersih, manayang lebih rendah
(Sari dan Martini, 2011). Klasifikasi yang selanjutnya adalah tanamanperkebunan
yang disajikan sebagai aset tidak lancar entitas. Di lingkungan industri
perkebunan,aset tidak lancar berupa aset biologis ini sering juga disebut
dengan akun tanaman produksi.Tanaman produksi disajikan dalam laporan posisi
keuangan entitas sebagai tanaman perkebunanyang merupakan bagian dari kelompok
aset tidak lancar (Pedoman Akuntansi PerkebunanBUMN, 2011).
Akun tanaman perkebunan ini merupakan tanaman
menghasilkan yang memilikiumur ekonomis panjang. Akun ini terdiri dari sub akun
tanaman belum menghasilkan dan tanaman menghasilkan. Kelemahan konsep biaya historis dalam
pelaporan keuangan menyebabkan entitasdiperbolehkan mengukur aset tidak
lancarnya dengan menggunakan revaluation
model jikapenyajian menggunakan konsep fair value. Penggunaan revaluation
model ini akan mencatataset tersebut dalam nilai wajarnya. Sama dengan konsep
sebelumnya, penyajian dengan fairvalue
tetap mengklasifikasikan aset biologis entitas perkebunan menjadi dua kelompok
besaryaitu persediaan dan aset tidak lancar. Dalam penelitian yang dilakukan
oleh Sari dan Martini(2011), produk hasil pertanian adalah hasil panen aktiva
(aset) biologis entitas. Produk hasil pertanian ini dalam industri perkebunan
sama dengan produk hasil perkebunan yang digolongkansebagai persediaan. Sesuai
dengan yang diterangkan dalam IAS 41, produk hasil pertanian(persediaan) yang
dipanen dari aset biologis entitas harus diukur pada saat panen sebesar
nilaiwajar dikurangi dengan biaya pada saat penjualan. Untuk kelompok akun aset
tidak lancar, jugadibagi menjadi akun tanaman belum menghasilkan dan tanaman
telah menghasilkan. MenurutIAS 41, aset biologis yang masuk dalam kelompok aset
tidak lancar ini harus diukur pada saatpengakuan awal dan pada setiap tanggal
neraca sebesar nilai wajarnya dan dikurangi denganestimasi biaya pada saat
penjualannya. Jika pada saat pengakuan awal, entitas tidak dapatmenentukan
nilai wajarnya dengan andal, maka aset biologis ini diukur berdasarkan
biayaperolehannya dikurangi dengan akumulasi depresiasi dan akumulasi kerugian
penurunan nilai.
Namun, ketika entitas telah dapat mengetahui nilai wajar
dari aset biologis ini dengan andal, maka aset ini harus diukur pada nilai
wajarnya dikurangi dengan estimasi biaya saat penjualan.Entitas wajib melakukan
pengukuran kembali (revaluation) atas tanaman perkebunan yang telahmenghasilkan
sesuai dengan nilai wajarnya dan dikurangi dengan estimasi biaya saat
penjualan,jika entitas menggunakan metode ini. Jika ada selisih dalam tahap
pengukuran kembali ini, bisaberupa kerugian atau keuntungan, entitas wajib
memasukkannya dalam item laporan laba rugiperiode berjalan. Apabila entitas
menggunakan konsep fair value dalam mengukur danmenyajikan aset biologisnya,
maka entitas harus menyajikan daftar rekonsiliasi perubahan atasnilai tercatat
pada tanaman perkebunan di antara awal dan akhir periode berjalan.
Daftarrekonsiliasi ini berisi mengenai ringkasan: penurunan akibat penjualan,
penurunan akibat panen,kenaikan yang diakibatkan penggabungan usaha, selisih
kurs bersih akibat translasi laporankeuangan entitas asing, dan berbagai sumber
perubahan lainnya.Pengukuran menggunakankonsep fair value ini menjawab kelemahan penyajian aset biologis jika
menggunakan konsepbiaya historis. Dengan konsep ini, entitas tetap dapat
mengetahui laba atau rugi bersih yangdialaminya pada periode-periode selama
proses transformasi biologis pada tanaman perkebunansampai tanaman tersebut
dapat menghasilkan manfaat ekonomis bagi entitas.
DAFTAR PUSTAKA
Anggraita,
Viska. 2012. Dampak Penerapan PSAK 50/55 (Revisi 2006) Terhadap Manajemen Laba
diperbankan : Peranan Mekanisme Corporate Governance, Struktur Kepemilikan, dan
Kualitas Audit. Universitas Indonesia
Caecilia W. P.
dan Rita Desniwati. 2013. Komparasi Informasi Asimetrik Sebelum dan Sesudah
Penerapan IFRS pada Emiten dan Investor di Indonesia. Universitas Gunadarma
Esti Laras dan
Nurul Fachriyah. 2012. EVALUASI PENERAPAN STANDAR AKUNTANSI KEUANGAN DALAM
PELAPORAN ASET BIOLOGIS. Universitas Brawijaya
Glyceria Ayu
dan Ch. Rusiti. 2015. ANALISIS MANAJEMEN LABA DI TINGKAT SEGMEN SEBELUM DAN
SESUDAH PENERAPAN ADOPSI IFRS 8 MENJADI PSAK 5 (2009) PADA PERUSAHAAN
MANUFAKTUR YANG TERDAFTAR DI BEI. Uiversitas Atma Jaya Yogyakarta
Maria, Evi.
2010. PENERAPAN PSAK 16 (REVISI 2007) DAN PMK No. 79 TAHUN 2008 TENTANG ASET
TETAP PADA PERUSAHAAN DI INDONESIA. Universitas Kristen Satya Wacana
Qomariah, Ratu
Nurul. 2013. DAMPAK KONVERGENSI IFRS TERHADAP MANAJEMEN LABA DENGAN STRUKTUR
KEPEMILIKAN MANAJERIAL SEBAGAI VARIABEL MODERATING (Studi Empiris pada
Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2009-2012).
Skripsi. Universitas Diponegoro
Sianipar, Glory. 2013.
ANALISIS KOMPARASI KUALITAS INFORMASI AKUNTANSI SEBELUM DAN SESUDAH
PENGADOPSIAN PENUH IFRS DI INDONESIA. Skripsi. Universitas Diponegoro
Tidak ada komentar:
Posting Komentar