Sabtu, 13 Juni 2015

SEKILAS MEMBAHAS LAPORAN KEUANGAN PADA PERUSAHAAN INDUSTRI

Dunia bisnis saat ini berkembang dengan sangat pesat. Perkembangan tersebut terjadi dalam semua sektor industri. Semua entitas bisnis berupaya keras untuk meningkatkan kualitas bisnisnya. Peningkatan kualitas entitas bergantung pada informasi ekonomi yang bisa menjelaskan keberadaan dan perkembangan entitas tersebut bagi pihak-pihak lain yang berhubungan dengan entitas. Penyajian informasi terkait dengan aktivitas ekonomi entitas dapatdilakukaan melalui penyajian laporan keuangan. Laporan keuangan merupakan sarana yang bisa digunakan oleh entitas untuk mengkomunikasikan keadaan terkait dengan kondisi keuangannya kepada pihak-pihak yang berkepentingan baik yang berasal dari internal entitas maupun eksternal entitas. Menurut PSAK No. 1 (2009: 13), laporan keuangan adalah penyajian terstruktur dari posisi keuangan dan kinerja keuangan suatu entitas. Tujuan laporan keuangan adalah memberikan informasi mengenai posisi keuangan, kinerja keuangan, dan arus kas entitas yang bermanfaat bagi sebagian besar kalangan pengguna laporan dalam pembuatan keputusan ekonomi (PSAK No.1,2009:05). Laporan keuangan juga menjadi wujud pertanggungjawaban manajemen atas penggunaan banyak sumber daya yang dimiliki entitas dan digunakan untuk menjalankan roda bisnis entitas.
Perlu kita ketahui manajer sebagai pengelola perusahaan lebih banyak mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan di masa yang akan datang dibandingkan pemilik (pemegang saham). Oleh karena itu sebagai pengelola, manajer berkewajiban memberikan sinyal mengenaikondisi perusahaan kepada pemilik. Sinyal yang diberikan dapat dilakukan melalui pengungkapan informasi akuntansi seperti laporan keuangan. Situasi ini akan memicumunculnya suatu kondisi yang disebut sebagai asimetri informasi (information asymmetry). Yaitu suatu kondisi di mana ada ketidakseimbangan perolehan informasi antara pihakmanajemen sebagai penyedia informasi (prepaper) dengan pihak pemegang saham dan stakeholder  pada umumnya sebagai pengguna informasi (user).   Menurut Scott (2000), terdapat dua macam asimetri informasi yaitu:
1.             Adverse selection, yaitu bahwa para manajer serta orang-orang dalam lainnya biasanya mengetahui lebih banyak tentang keadaan dan prospek perusahaan dibandingkan investorpihak luar. Dan fakta yang mungkin dapat mempengaruhi keputusan yang akan diambil oleh pemegang saham tersebut tidak disampaikan informasinya kepada pemegang saham.
2.             Moral hazard, yaitu bahwa kegiatan yang dilakukan oleh seorang manajer tidak seluruhnya diketahui oleh pemegang saham maupun pemberi pinjaman. Sehinggamanajer dapat melakukan tindakan diluar pengetahuan pemegang saham yang melanggar kontrak dan sebenarnya secara etika atau norma mungkin tidak layak dilakukan. Adanya asimetri informasi memungkinkan adanya konflik yang terjadi  antara principal dan agent untuk saling mencoba memanfatkan pihak lain untuk kepentingan sendiri.
Tingginya peranan laporan keuangan dalam sebuah sistem industri membuat keberadaan laporan keuangan sangat dibutuhkan, tentunya dengan kualitas laporan keuangan yang baik. Mengingat fungsi penting dari laporan keuangan, maka mutlak bagi entitas untuk melakukan penyusunan laporan keuangan dengan baik, benar, dan sesuai standar yang berlaku. Hal ini ditujukan agar tidak terjadi asimetri informasi di kalangan pengguna laporan keuangan.  Sehubungan dengan upaya penyusunan laporan keuangan yang baik, pemilihan dan penggunaan metode akuntansi yang tepat menjadi hal yang harus diperhatikan. Metode akuntansi yang digunakan harus disesuaikan dengan jenis industri yang dijalankan oleh entitas tersebut. Perbedaan jenis industri dan skala kegiatan entitas menyebabkan pemilihan dan penggunaan metode akuntansi yang berbeda pula. Pemilihan metode akuntansi yang tepat untuk digunakan oleh entitas akan dapat memastikan kesesuaian terhadap pengakuan, pengukuran, penyajian dan pengungkapan untuk masing-masing elemen laporan keuangan dengan standar yang berlaku.Perbedaan penggunaan metode untuk perlakuan akuntansi entitas sangat mungkin terjadi, khususnya pada beberapa jenis industri yang unik dan memiliki karakteristik khusus. Kondisi wilayah Indonesia yang cocok untuk industri pertanian dan perkebunan menjadi satu alasan tersendiri mengapa di Indonesia banyak tumbuh entitas yang bergerak di duniaagribisnis.
Entitas yang bergerak pada sektor industri agribisnis, utamanya bidang perkebunan, merupakan salah satu contoh dari entitas dengan karakteristik khusus terkait dengan penyusunanlaporan keuangannya. Skala usaha dari entitas-entitas tersebut juga beragam, mulai dari entitasyang berskala bisnis kecil setaraf UMKM yang belum go public hingga pada entitas denganskala bisnis yang besar dan sudah go public. Entitas bisnis yang bergerak di bidang perkebunan memiliki dan mengelola aset biologisberupa tanaman perkebunan yang cenderung lebih rumit perlakuannya. Proses pengakuan,pengukuran, penyajian dan pengungkapan untuk sisi aset entitas, terutama pada bagian asetbiologisnya, membutuhkan pemahaman yang lebih detail. Hal ini dikarenakan, padaperkembangannya saat ini, aset biologis akan mengalami klasifikasi yang berulang di sepanjangumur ekonomisnya akibat transformasi bentuk aset tersebut. Keberadaan aset biologis bagientitas bisnis yang bergerak di bidang perkebunan menjadi sangat unik dan krusial karena jenisaset ini merupakan komoditas utama entitas. Aktivitas utama entitas dalam pengelolaan asetbiologis mulai dari penanaman hingga bisa menghasilkan produk yang bisa dijual harusdikelompokkan dengan benar agar bisa menghasilkan laporan keuangan yang relevan, andal, dan dapat diperbandingkan. Pengukuran, pengakuan, dan penyajian terhadap aset biologis harus menggunakan metodeakuntansi yang tepat agar entitas bisa menentukan nilai dari semua kelompok aset biologisnyadengan wajar. Kewajaran penilaian aset biologis ini juga harus disesuaikan dengan kontribusidari aset tersebut pada keuntungan entitas. Ini dilakukan untuk memenuhi prinsip kesesuaianantara pendapatan dan beban (matching) dalam penyusunan laporan keuangan entitas.
Apabilaentitas sudah mampu menilai secara wajar maka laporan keuangan yang akan disusun olehentitas juga akan menampilkan informasi yang sesungguhnya terjadi di lapangan pada entitastersebut. Sehingga, laporan keuangan yang dihasilkan tidak akan bias dan dapat memberikaninformasi ekonomi yang benar kepada para penggunanya. Entitas yang bergerak di bidang industri perkebunan juga wajib menyusun laporankeuangannya sesuai dengan standar yang berlaku, dalam hal ini di Indonesia. Standar akuntansikeuangan menjadi pedoman utama dalam menyusun laporan keuangannya. Terkait denganpengelolaan aset biologis pada entitas bisnis perkebunan yang menjadi isu penelitian ini, standarakuntansi yang berlaku di Indonesia, yaitu SAK, tidak memunculkan secara spesifik tentangakuntansi perkebunan atau akuntansi untuk aset biologis. Namun demikian, ada beberapaperaturan yang bisa digunakan sebagai acuan untuk akuntansi aset biologis pada entitas bisnisyang bergerak di bidang perkebunan ini, seperti: Surat Edaran Ketua Badan Pengawas PasarModal (Bapepam) No: SE-02/PM/2002 tentang Pedoman Penyajian dan Pengungkapan LaporanKeuangan Emiten atau Perusahaan Publik Industri Perkebunan, Pedoman Akuntansi PerkebunanBUMN Berbasis IFRS yang dikeluarkan oleh PT. Perkebunan Nusantara I-IV dan IkatanAkuntan Indonesia (IAI) tahun 2011, PSAK 14 tentang Persediaan, PSAK 16 tentang AsetTetap, IAS 41 tentang Agricultural Asset, dan SAK ETAP. Beberapa acuan tersebut dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi manajemen untukmenyajikan laporan keuangan yang andal. Manajemen harus tetap membuat kebijakan yang bisamenjamin bahwa laporan keuangan yang mereka susun bisa dipercaya dan andal, sehingga parapengguna laporan keuangan tetap bisa menggunakannya sebagai bahan pertimbangan utamauntuk memutuskan tindakan ekonomi atas entitas ini.
Di dalam Standar Akuntansi Keuangan yang digunakan di Indonesia, belum ada pernyataan yang spesifik yang mengatur mengenai perlakuan akuntansi khusus bagi industriperkebunan. Selama ini hanya ada PSAK 32 yang mengatur mengenai akuntansi kehutanan, yangjuga ikut diterapkan dalam industri perkebunan. PSAK 32 ini sudah dicabut oleh IAI dan tidakdipergunakan lagi sebagai suatu standar akuntansi di Indonesia. Standar yang khusus mengenaipengungkapan atau pelaporan aset biologis belum ada. Dengan demikian, penyusunan laporankeuangan bagi entitas perkebunan dilakukan berdasarkan penyesuaian terhadap konsep danprinsip umum mengenai pelaporan keuangan seperti yang dijelaskan pada PSAK No. 1,Peraturan Bapepam tentang industri perkebunan, dan pedoman akuntansi lain yang sesuai.Secara umum, metode akuntansi yang dapat diterapkan oleh manajemen entitas perkebunanadalah metode pencatatan dengan biaya historis (historical cost method). Standar akuntansikeuangan lain yang relevan dengan perlakuan akuntansi aset biologis pada industri perkebunandapat berupa pedoman teknis dalam berbagai bentuk, yaitu: Pedoman Akuntansi PerkebunanBUMN Berbasis IFRS yang dikeluarkan oleh PT. Perkebunan Nusantara I-IV dan IkatanAkuntan Indonesia (IAI) tahun 2011, PSAK No.14 Revisi 2008 tentang Persediaan, PSAK No.16 Revisi 2011 tentang Aset Tetap, IAS 41 tentang Agricultural Asset, PSAK No. 23 Revisi2010 tentang Pendapatan, dan PSAK No. 48 Revisi 2009 tentang Penurunan Nilai Aset.
Menurut PSAK No. 1 (2009: 13), laporan keuangan adalah penyajian terstruktur dari posisi keuangan dan kinerja keuangan suatu entitas. Laporan ini menampilkan sejarah entitas yangdikuantifikasi dalam nilai moneter (Kieso, 2010). Laporan keuangan merupakan sarana yang bisadigunakan oleh entitas untuk mengkomunikasikan keadaan terkait dengan kondisi keuangannyakepada pihak-pihak yang berkepentingan baik yang berasal dari internal entitas maupun eksternal entitas. Tujuan adanya laporan keuangan menurut SFAC No. 1 terbagi dalam tiga bagian utamayaitu untuk: dasar penilaian dalam kepentingan investasi dan kredit, membantu menetapkanaliran kas entitas di masa depan, dan menjelaskan tentang sumber daya yang dimiliki olehentitas, klaim atas sumber daya tersebut, dan segala bentuk perubahan sumber daya. Untukmemenuhi semua tujuannya, maka laporan keuangan dibuat dengan komponen lengkap yangterdiri dari: laporan posisi keuangan (neraca) pada akhir periode, laporan laba rugi komprehensifselama periode, laporan perubahan ekuias selama periode, laporan arus kas selama periode, catatan atas laporan keuangan, dan laporan posisi keuangan pada awal periode komparatif yangdisajikan ketika entitas menerapkan suatu kebijakan akuntansi restrospektif atau membuatpenyajian kembali pos-pos laporan keuangan atau ketika entitas mereklasifikasi pos-pos dalamlaporan keuangannya.Dalam penyajian aset biologis di laporan keuangan dengan menggunakan konsep biaya historis, aset biologis berupa tanaman perkebunan dikelompokkan dalam akun persediaan danakun aset tidak lancar. Akun persediaan akan menampung tanaman perkebunan yang telah siapdijual menurut jenis usaha entitas. Akun aset tidak lancar akan menampung tanaman perkebunanmilik entitas yang belum bisa dijual karena masih mengalami proses pertumbuhan. Persediaandalam industri perkebunan disajikan sebesar biaya perolehan atau nilai realisasi bersih, manayang lebih rendah (Sari dan Martini, 2011). Klasifikasi yang selanjutnya adalah tanamanperkebunan yang disajikan sebagai aset tidak lancar entitas. Di lingkungan industri perkebunan,aset tidak lancar berupa aset biologis ini sering juga disebut dengan akun tanaman produksi.Tanaman produksi disajikan dalam laporan posisi keuangan entitas sebagai tanaman perkebunanyang merupakan bagian dari kelompok aset tidak lancar (Pedoman Akuntansi PerkebunanBUMN, 2011).
Akun tanaman perkebunan ini merupakan tanaman menghasilkan yang memilikiumur ekonomis panjang. Akun ini terdiri dari sub akun tanaman belum menghasilkan dan tanaman menghasilkan.  Kelemahan konsep biaya historis dalam pelaporan keuangan menyebabkan entitasdiperbolehkan mengukur aset tidak lancarnya dengan menggunakan revaluation model jikapenyajian menggunakan konsep fair value. Penggunaan revaluation model ini akan mencatataset tersebut dalam nilai wajarnya. Sama dengan konsep sebelumnya, penyajian dengan fairvalue tetap mengklasifikasikan aset biologis entitas perkebunan menjadi dua kelompok besaryaitu persediaan dan aset tidak lancar. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Sari dan Martini(2011), produk hasil pertanian adalah hasil panen aktiva (aset) biologis entitas. Produk hasil pertanian ini dalam industri perkebunan sama dengan produk hasil perkebunan yang digolongkansebagai persediaan. Sesuai dengan yang diterangkan dalam IAS 41, produk hasil pertanian(persediaan) yang dipanen dari aset biologis entitas harus diukur pada saat panen sebesar nilaiwajar dikurangi dengan biaya pada saat penjualan. Untuk kelompok akun aset tidak lancar, jugadibagi menjadi akun tanaman belum menghasilkan dan tanaman telah menghasilkan. MenurutIAS 41, aset biologis yang masuk dalam kelompok aset tidak lancar ini harus diukur pada saatpengakuan awal dan pada setiap tanggal neraca sebesar nilai wajarnya dan dikurangi denganestimasi biaya pada saat penjualannya. Jika pada saat pengakuan awal, entitas tidak dapatmenentukan nilai wajarnya dengan andal, maka aset biologis ini diukur berdasarkan biayaperolehannya dikurangi dengan akumulasi depresiasi dan akumulasi kerugian penurunan nilai.
Namun, ketika entitas telah dapat mengetahui nilai wajar dari aset biologis ini dengan andal, maka aset ini harus diukur pada nilai wajarnya dikurangi dengan estimasi biaya saat penjualan.Entitas wajib melakukan pengukuran kembali (revaluation) atas tanaman perkebunan yang telahmenghasilkan sesuai dengan nilai wajarnya dan dikurangi dengan estimasi biaya saat penjualan,jika entitas menggunakan metode ini. Jika ada selisih dalam tahap pengukuran kembali ini, bisaberupa kerugian atau keuntungan, entitas wajib memasukkannya dalam item laporan laba rugiperiode berjalan. Apabila entitas menggunakan konsep fair value dalam mengukur danmenyajikan aset biologisnya, maka entitas harus menyajikan daftar rekonsiliasi perubahan atasnilai tercatat pada tanaman perkebunan di antara awal dan akhir periode berjalan. Daftarrekonsiliasi ini berisi mengenai ringkasan: penurunan akibat penjualan, penurunan akibat panen,kenaikan yang diakibatkan penggabungan usaha, selisih kurs bersih akibat translasi laporankeuangan entitas asing, dan berbagai sumber perubahan lainnya.Pengukuran menggunakankonsep fair value ini menjawab kelemahan penyajian aset biologis jika menggunakan konsepbiaya historis. Dengan konsep ini, entitas tetap dapat mengetahui laba atau rugi bersih yangdialaminya pada periode-periode selama proses transformasi biologis pada tanaman perkebunansampai tanaman tersebut dapat menghasilkan manfaat ekonomis bagi entitas.






DAFTAR PUSTAKA

Anggraita, Viska. 2012. Dampak Penerapan PSAK 50/55 (Revisi 2006) Terhadap Manajemen Laba diperbankan : Peranan Mekanisme Corporate Governance, Struktur Kepemilikan, dan Kualitas Audit. Universitas Indonesia
Caecilia W. P. dan Rita Desniwati. 2013. Komparasi Informasi Asimetrik Sebelum dan Sesudah Penerapan IFRS pada Emiten dan Investor di Indonesia. Universitas Gunadarma
Esti Laras dan Nurul Fachriyah. 2012. EVALUASI PENERAPAN STANDAR AKUNTANSI KEUANGAN DALAM PELAPORAN ASET BIOLOGIS. Universitas Brawijaya
Glyceria Ayu dan Ch. Rusiti. 2015. ANALISIS MANAJEMEN LABA DI TINGKAT SEGMEN SEBELUM DAN SESUDAH PENERAPAN ADOPSI IFRS 8 MENJADI PSAK 5 (2009) PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR YANG TERDAFTAR DI BEI. Uiversitas Atma Jaya Yogyakarta
Maria, Evi. 2010. PENERAPAN PSAK 16 (REVISI 2007) DAN PMK No. 79 TAHUN 2008 TENTANG ASET TETAP PADA PERUSAHAAN DI INDONESIA. Universitas Kristen Satya Wacana
Qomariah, Ratu Nurul. 2013. DAMPAK KONVERGENSI IFRS TERHADAP MANAJEMEN LABA DENGAN STRUKTUR KEPEMILIKAN MANAJERIAL SEBAGAI VARIABEL MODERATING (Studi Empiris pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2009-2012). Skripsi. Universitas Diponegoro
Sianipar, Glory. 2013. ANALISIS KOMPARASI KUALITAS INFORMASI AKUNTANSI SEBELUM                      DAN SESUDAH PENGADOPSIAN PENUH IFRS DI INDONESIA. Skripsi. Universitas                        Diponegoro

Tidak ada komentar:

Posting Komentar