Rabu, 24 Juni 2015

Implementasi Regulasi Atas Praktik Penghindaran Pajak Penanaman Modal Asing




Latar Belakang
Dalam rangka menarik investor asing, banyak negara secara aktif mempromosikan negaranya agar menjadi lokasi investasi dengan memberikan berbagai insentif. Insentif tersebut dapat berupa insentif non pajak maupun insentif pajak. Insentif non pajak pada umumnya diberikan dalam bentuk pembangunan infrastruktur yang memadai, kemudahan memperoleh bahan baku, penyediaan tenaga kerja terlatih atau pemberian jaminan keamanan. Sementara itu, insentif pajak pajak diberikan melalui pemberian tax holiday, pajak yang rendah bagi investor asing, penyusutan dipercepat atau investment allowance. Bagi Indonesia, undangan pemerintah kepada investor asing untuk terus menanamkan investasi di Indonesia tak pernah berhenti diserukan. Pemerintah Indonesia tidak kalah gencar berupaya menarik investor untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pada tahun 2006 antara lain melalui penerbitan Instruksi Presiden Nomor 3 tahun 2006, pemerintah mengeluarkan dua paket kebijakan yang memuat paket kebijakan pembangunan infrastruktur dan paket kebijakan iklim investasi. Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan atau di daerah-daerah tertentu. Fasilitas Pajak Penghasilan yang diberikan adalah berupa pengurangan penghasilan neto, penyusutan dan amortisasi yang dipercepat, pengenaan Pajak Penghasilan atas dividen sebesar 10%, atau tarif yang lebih rendah, dan kompensasi kerugian yang lebih lama dari 5 tahun. Agenda yang masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah diantaranya perbaikan atau sinkronisasi kebijakan iklim investasi, masalah perpajakan, infrastruktur, peraturan perburuhan, dan koordinasi antar pengambil kebijakan dalam pemerintahan (World Bank 2005). Bagi wajib pajak, khususnya Penanaman Modal Asing (PMA), upaya efisiensi pajak dilakukan dengan memanfaatkan peluang yang terdapat dalam ketentuan perpajakan yang berlaku dikenal dengan tax planning dan tidak melanggar hukum. PMA lazim melakukan perencanaan pajak, baik yang bersifat aktif (agresif) maupun pasif (non-agresif), agar memperoleh manfaat sebesar mungkin dari kebutuhan negara berkembang seperti Indonesia yang masih mengalami deficit pendanaan proyek yang padat modal. Namun di sisi pemerintah, tentu saja perencanaan pajak demikian dapat dipersepsikan sebagai praktik penghindaran pajak.
Dalam upaya mengidentifikasi serta menangkal praktik penghindaran pajak yang dilakukan oleh perusahaan Penanaman Modal Asing, pada umumnya negara menerbitkan ketentuan pencegahan penghindaran pajak yang bersifat khusus (Specific Anti Avoidance Rule/SAAR) yang diatur dalam undang-undang domestiknya, seperti: Controlled Foreign Company (CFC), arm’s length rule, advance pricing agreement, dan debt to equity ratio (DER). Dalam praktik di beberapa negara, specific anti avoidance rule berjalan efektif dalam menangkal praktik penghindaran pajak dan memberikan kepastian hukum bagi wajib pajak (Thuronyi 1998,193). Selain ketentuan yang bersifat khusus tersebut, banyak negara juga menerbitkan  ketentuan pencegahan penghindaran pajak yang bersifat umum {General Anti Avoidance Rule/GAAR). Tujuan dibuatnya GAAR adalah  langkah antisipasi praktik penghindaran pajak yang belum diatur dalam ketentuan yang bersifat khusus atau untuk melawan tindakan tax avoidance yang pada saat dibuatnya peraturan belum dikenal. Dalam kaitan ini, fenomena cukup banyaknya perusahaan PMA yang melaporkan rugi pada laporan keuangannya dan tidak membayar pajak berturut-turut selama 5 tahun atau lebih yang antara lain ditengarai karena praktik penghindaran pajak, menuntut perhatian lebih dari pemerintah khususnya Direktorat Jenderal Pajak. Sukar diperoleh angka yang pasti dari fenomena perusahaan PMA yang tidak membayar pajak akibat kerugian dalam laporan keuangannya.
Dalam upaya menyikapi dan mencari solusi atas permasalahan tersebut, perlu  dikaji dua masalah pokok: pertama perlu dikaji bagaimana ketentuan penangkal penghindaran pajak {Anti Tax Avoidance) dapat meminimalisasi praktik penghindaran pajak. Kedua, perlu kajian tentang bagaimana pengalaman negara lain yang telah menerapkan  SAAR dan GAAR, sebagai pembanding dan benchmarking, terhadap regulasi yang berlaku di Indonesia. Bila penelitian sebelumnya lebih berfokus kepada penggelapan pajak  {tax evasion) serta penelitian suatu skema tertentu yang umumnya digunakan PMA, maka kontribusi studi ini mengidentifikasi lima skema utama praktik penghindaran pajak dengan karakteristik berbeda dari penggelapan pajak beserta tax loopholes yang dimiliki UU Perpajakan Indonesia. Studi ini dilakukan dengan berfokus pada regulasi yang dapat dimanfaatkan PMA untuk melakukan praktik penghindaran pajak {tax avoidance). Tinjauan literatur praktik penghindaran pajak diuraikan pada bagian kedua makalah ini, termasuk beberapa penelitian terdahulu yang memiliki topic penelitian selaras dengan masalah pokok yang dikaji tentang tax avoidance. Bagian ketiga menjelaskan metode kajian yang dilakukan. Bagian keempat paper ini menganalisis peraturan yang berlaku dalam menangkal tax avoidance serta peluang yang masih dapat dimanfaatkan, yang diakhiri dengan analisis komparatif regulasi SAAR maupun GAAR beberapa negara. Selanjutnya simpulan dan rekomendasi studi dikemukakan pada bagian penutup.
Peraturan praktik Tax Avoidance Indonesia diarahkan kepada upaya menangkal praktik penghindaran pajak, khususnya  yang dilakukan oleh pihak yang mempunyai hubungan istimewa, diatur dalam pasal 18 Undang Undang Pajak Penghasilan tentang Hubungan Istimewa. Kebijakan penangkal penghindaran pajak tersebut bersifat khusus (Specific Anti Tax Avoidance/ SAAR). Pembahasan regulasi praktik tax avoidance disusun dengan mengacu pada kerangka pemikiran yang diajukan, peneliti mengkaji pajak penghasilan dari Perusahaan Modal Asing yang diduga melakukan praktik penghindaran pajak dengan menggunakan skema yang dibahas dalam bagian kedua makalah ini. Kerangka pemikiran digunakan untuk memperjelas langkah-langkah yang peneliti lakukan dalam studi kualitatif ini.  Adapun beberapa skema praktik penghindaran  pajak yang diatur dalam pasal 18 Undang-Undang Pajak Penghasilan tersebut adalah:
Penangkal Praktik Thin Capitalization Melalui Penentuan Besaran Debt Equity Ratio (DER)
Upaya men a n g k a l  p r a k t i k  thin capitalization yaitu praktik membiayai cabang atau anak perusahaan lebih banyak dari utang dibandingkan modal sendiri, dalam hal ini, Menteri Keuangan Republik Indonesia diberi kewenangan untuk menentukan besarnya rasio antara hutang dengan modal (Debt Equity Ratio). Sebagai tindak lanjut dari kewenangan yang diberikan Undang –Undang Pajak Penghasilan kepada Menteri Keuangan tersebut, maka pada 8 Oktober 1984 diterbitkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor 1002/KMK.04/1984 tentang Penentuan Perbandingan Antara Hutang dan Modal Sendiri Untuk Keperluan Pengenaan Pajak Penghasilan. Dalam KMK1002/KMK04/1984 diatur bahwa untuk keperluan penghitungan Pajak  Penghasilan besarnya perbandingan antara hutang dan modal sendiri (debt equty ratio). Dalam keputusan tersebut yang dimaksud dengan utang adalah saldo rata-rata pada tiap akhir bulan yang dihitung dari semua hutang baik utang jangka panjang maupun utang jangka pendek, selain utang dagang. Sementara itu, modal sendiri adalah jumlah modal yang disetor pada akhir tahun pajak termasuk laba yang tidak dan atau belum dibagikan. Dalam hal ini besarnya perbandingan hutang dan modal sendiri yang diatur adalah sebesar 3:1. Dengan pertimbangan bahwa penentuan besarnya perbandingan antara utang  dan modal sendiri oleh pemerintah dianggap dapat menghambat perkembangan dunia usaha, maka Menteri Keuangan menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan nomor 254/ KMK.01/1985, tanggal 8 Maret 1985 tentang Penundaan Pelaksanaan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor 1002/ KMK.04/1984 tanggal 8 Oktober 1984 tentang Penentuan Perbandingan Antara Hutang dan Modal Sendiri Untuk Keperluan Pengenaan Pajak Penghasilan. Sebagaimana diketahui pembatasan rasio utang dan modal sendiri bemuasa restriksi atas penanaman modal asing dan modal dalam negeri, saat peraturan dikeluarkan pemerintah sedang melakukan deregulasi hambatan investasi di dalam negeri. Pada sisi lain, bila tanpa pengaturan DER dan persyaratan kepemilikan maka praktik thin capitalization menjadi sangat mudah dilakukan dalam konteks penghindaran pajak. Penundaan berlakunya ketentuan tentang perbandingan antara utang dengan modal sendiri tersebut adalah tanpa batas waktu. Penulis memang tidak memiliki data valid atas dugaan perusahaan PMA menggunakan absennya pengaturan debt to equity ratio ini dalam UU Pajak Penghasilan, misalnya jumlah perusahaan penanaman modal asing yang terindikasi menggunakan thin capitalization, namun berdasarkan regulasi negara lain yang sudah mengaturnya maka regulasi atas peluang loophole DER mendesak untuk dipenuhi. Masa berlakunya ketentuan mengenai besarnya perbandingan antara hutang dengan  modal (Debt Equity Ratio) sebagaimana diatur oleh Menteri Keuangan tersebut sangat singkat, karena pada Maret 1985 ketentuan ditunda sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Dengan penundaan tersebut maka sejak saat itu sampai sekarang Indonesia tidak memiliki aturan tentang Debt Equity Ratio/DER. Hal ini berarti sampai saat ini Indonesia tidak memiliki aturan penangkal praktik thin capitalization.
Mengingat pentingnya aturan mengenai besarnya Debt Equty Ratio untuk mencegah praktik thin capitalization yang merugikan penerimaan negara dari sektor pajak, maka banyak negara mengatur mengenai besarnya Debt Equity Ratio tersebut dalam ketentuan thin capitalization rules di negaranya yang dipadukan dengan persyaratan kepemilikan. Misalnya Jepang membatasi DER 3:1 dengan syarat kepemilikan lebih dari lima puluh persen, Australia juga membatasi rasio DER 3:1 namun kepemilikannya lebih rendah yaitu  15 persen dan Kanada lebih ketat membatasi rasio DER 2:1 dengan syarat kepemilikan sampai dengan 25 persen. Selain isu syarat kepemilikan maka pengaturan besarnya rasio utang terhadap ekuitas mempertimbangkan tipologi industri di mana regulasi pencegahan praktik thin capitalization pada industri manufaktur akan berbeda pengaturan Debt Equity Ratio-nya pada industri konstruksi2. Best practice Negara-negara di atas juga telah mempertimbangkan faktor jenis industri. Implikasi terpenting tanpa pengaturan besaran Debt to Equity Ratio maka Perusahaan PMA dapat melakukan penghindaran pajak melalui skema thin capitalization, praktik thin capitalization pada dasarnya adalah praktik penyetoran modal terselubung melalui pemberian pinjaman yang melampaui batas kewajaran. Pembiayaan induk perusahaan semata-mata melalui utang anak perusahaan dengan skema direct loan (pinjaman langsung), skema parallel loan, dan skema back to back loan.
Regulasi Praktik Pemanfaatan Negara Tax Haven Melalui Kebijakan Dividen Perusahaan

Terkait praktik penghindaran pajak melalui pemanfaatan negara tax haven dan juga Controlled Foreign Corporation (CFC), Menteri Keuangan Republik Indonesia diberi kewenangan untuk menetapkan saat diperolehnya dividen oleh wajib pajak 2 Penulis mendapatkan masukan berharga dari Editor jurnal atas usulan regulasi DER masing-masing industri. dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri yang sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek. Sebagai tindak lanjut dari kewenangan tersebut, maka pada tanggal 29 Desember 1994 diterbitkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor 650/KMK.04/1994 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen Atas Penyertaan Modal Pada Badan Usaha di Luar Negeri yang Sahamnya Tidak Diperdagangkan di Bursa Efek. Dalam KMK no 650/KMK.04/1994 diatur bahwa untuk keperluan penghitungan Pajak Penghasilan, saat diperolehnya dividen oleh wajib pajak dalam negeri ditetapkan pada bulan keempat setelah berakhirnya batas waktu  kewajiban penyampaian surat pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan badan usaha di luar negeri untuk tahun yang bersangkutan. Apabila tidak ada ketentuan batas waktu penyampaian surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan atau tidak ada kewajiban menyampaikan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan, maka saat diperolehnya dividen ditetapkan pada bulan ketujuh setelah tahun pajak berakhir. Wajib pajak dalam negeri (WPDN) yang dimaksud dalam KMK no.650 adalah WPDN yang memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut:
a), memiliki sekurang-kurangnya 50% dari  jumlah saham yang disetor pada badan usaha di luar negeri; atau
b), secara bersama-sama dengan wajib pajak dalam negeri lainnya memiliki sekurangkurangnya 50% dari jumlah saham yang disetor pada badan usaha di luar negeri.
Sementara itu, badan usaha di luar  negeri sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan tersebut adalah badan usaha yang bertempat kedudukan di negara-negara tax haven. Sebagai tindak lanjut dariditerbitkannya Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor 650/KMK.04/ 1994, tanggal 29 Desember 1994 tersebut, Direktorat Jenderal Pajak menerbitkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE- 22/PJ.4/1995, tanggal 26 April 1995 tentang Dividen Dari Penyertaan Modal Pada Badan Usaha di Luar Negeri Yang Sahamnya Tidak Diperdagangkan di Bursa Efek serta Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE-35/PJ.4/1995, tanggal 7 Juli 1995 tentang Penegasan Lebih Lanjut Atas Dividen Dari Penyertaan Modal Pada Badan Usaha di Luar  Negeri Yang Sahamnya Tidak Diperdagangkan di Bursa Efek. Pada skema pemanfaatan negara tax haven dan CFC fokus regulasi penangkal kedua skema tersebut terdapat pada pembagian dividen oleh para wajib pajak atas penyertaan modal pada entitas usaha luar negeri yang sahamnya tidak diperdagangkan di Bursa  Efek. Ketentuan penangkal praktik CFC dalam pasal 18 ayat (2) memberikan kewenangan untuk menetapkan saat perolehan dividen oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas saham badan usaha di Luar Negeri dimana sahamnya tidak diperdagangkan di Bursa Efek, termasuk Keputusan Menteri Keuangan No-650/1994 yang didesain meminimalisasi praktik CFC. Problematika tax haven kemudian sejak diterbitkannya regulasi di atas yaitu sejak tahun 1994 sampai saat ini daftar negara tax haven tersebut tidak pernah diperbaharui. Ketentuan yang sudah terlalu lama tersebut menyebabkan daftar negara-negara tax haven tersebut sudah tidak relevan dengan perkembangan yang ada. Akibatnya wajib pajak dalam negeri masih dapat melakukan praktik penghindaran pajak dengan melakukan investasi di negara tax haven lainnya yang tidak tercantum dalam daftar negara tax haven menurut Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia. Banyak negara telah menerapkan kriteria negara tax haven menurut kriteria tertentu, misalnya Korea Selatan mendefinisikan negara tax haven bila beban pajak yang dibayar di Korea Selatan kurang dari 15% dari penghasilan kena pajak. Beberapa contoh negara dengan kriteria penerapan negara tax haven.
Penetapan negara-negara tax haven berdasarkan list mengandung kelemahan sistemik karena pertama, apabila tidak sering diperbaharui, karena perkembangan sangat cepat. Untuk mengantisiapasi hal ini banyak negara yang menentukan negara tax haven berdasarkan kriteria-kriteria tertentu, seperti berdasarkan kriteria besarnya tarif pajak yang berlaku di negara tersebut. Kedua, dalam ketentuan pasal 18 ayat (2) sebagai CFC Rules Indonesia adalah dalam hal kontrol. Indonesia menggunakan pendekatan hukum, yaitu kepemilikan pada CFC sebesar lebih dari 50% secara sendiri atau bersama-sama dengan Wajib Pajak Dalam Negeri lainnya. Dalam hal ini definisi kontrol yang diterapkan Indonesia hanya terbatas pada kepemilikan saham secara langsung terhadap badan usaha di luar negeri tersebut. Praktik CFC rules Korea Selatan juga mengatur bahwa kepemilikan tidak langsung juga termasuk dalam pengertian kontrol dan pengenaan aturan CFC tidak hanya dapat dilakukan pada lapisan pertama, lapisan kedua maupun lapisan-lapisan selanjutnya. Diperlukan adanya pengaturan kepemilikan tidak langsung, misalnya kepemilikan cucu perusahaan melalui anak perusahaan. Ketentuan CFC Rules Indonesia juga hanya menyangkut passive income saja sedangkan active income tidak tercakup dalam ketentuan.
Regulasi Praktik Transfer Pricing Melalui Perhitungan Penghasilan Kena  Pajak (PKP) Wajib Pajak dengan Hubungan Istimewa
Guna menangkal praktik transfer pricing, Direktur Jenderal Pajak diberi kewenangan untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak (PKP) bagi wajib pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan wajib pajak lainnya  sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa,  Adapun kriteria yang digunakan untuk menentukan adanya hubungan istimewa adalah sebagai berikut:
a.       Terdapat penyertaan saham sekurang-  kurangnya 25% baik secara langsung
maupun tidak langsung.
b.    Terdapat penguasaan yang sama.
c.       Terdapat hubungan keluarga, baik sedarah  maupun semenda, dalam garis keturunan lurus atau ke samping satu derajat.
Sebagai tindak lanjut dari kewenangan Direktur Jenderal Pajak tersebut, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Edaran Nomor SE -  04/ PJ.7 / 1993 tentang Petunjuk Penanganan Kasus-kasus Transfer Pricing. Dalam surat edaran tersebut disebutkan bahwa hubungan istimewa dapat berimplikasi pada: kekurangwajaran harga, biaya atau imbalan lain yang direalisasikan dalam transaksi usaha. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak tersebut juga menegaskan bahwa transfer pricing dapat terjadi antar Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) atau antara Wajib Pajak Dalam Negeri dengan pihak Luar Negeri, terutama yang berkedudukan di negara-negara tax haven. Terhadap transaksi antar wajib pajak yang mempunyai hubungan istimewa tersebut, Undang-Undang perpajakan Indonesia meng­ anut azas materiil (substance over f orm principle). Untuk menentukan kewajaran harga dari transaksi yang terjadi antara pihak- pihak yang mempunyai hubungan istimewa, surat edaran Direktur Jenderal Pajak tersebut memperkenalkan beberapa metode beserta contoh-contoh kasusnya. Adapun metode yang digunakan dalam menentukan kewajaran tersebut misalnya metode harga pasar pembanding (comparable uncontrolled price method, metode harga pokok plus (cost plus), metode harga jual minus (sales minus/ resale price method), dan metode tingkat laba sebanding {comparable profit) atau tingkat hasil investasi {return on investment). Untuk mengatasi kesulitan dalam menentukan harga wajar yang dipakai pada transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa yang seringkali menimbulkan sengketa antara wajib pajak dengan fiskus, Direktur Jenderal Pajak diberi kewenangan untuk menerbitkan kesepakatan harga transfer (Advance Pricing Agreement /APA) sebagaimana diatur dalam pasal 18 ayat (3a) Undang Undang Pajak Penghasilan. Dalam hal kewenangan Direktur Jendral Pajak untuk menerbitkan APA belum ditindaklanjuti dengan penerbitan peraturan pelaksana atas ketentuan tersebut. Hal ini berakibat permasalahan tentang kesepakatan harga transfer menjadi menggantung. Kendala peraturan pelaksanaan mengenai kesepakatan harga transfer karena pihak regulator belum siap untuk melaksanakan kewenangan yang diberikan UU PPh, belum memiliki patokan dalam penetuan harga pasar yang wajar dan fasilitas-fasilitas pendukung belum lengkap. Metode yang banyak dipergunakan berturut-turut metode harga pokok plus, metode harga jual minus, metode tingkat laba sebanding dan metode harga pasar pembanding. Ketiadaan aturan pelaksanaan tentang APA berakibat kepada Wajib Pajak tidak dapat mengajukan permohonan kesepakatan harga transfer. Praktik yang kerap dilakukan Negara lain dalam penentuan harga transfer melalui pengelompokkan jenis usaha guna analisis marjin keuntungan dan pembuatan data base menentukan harga wajar. Dibandingkan dengan negara-nagara lain, khususnya negara Asia, kebijakan untuk menangkal praktik transfer pricing Indonesia terbatas. Sementara kebijakan untuk menangkal praktik transfer pricing di negara-negara  tersebut pada umumnya sangat komprehensif. Dalam hal ini upaya untuk menangkal praktik transfer pricing dilakukan dengan berbagai cara yang diatur dalam peraturan perundang- undangan perpajakan yang jelas. Hal ini dapat dilihat pada tabel 2 di bawah ini: Studi evaluasi regulasi atas praktik transfer pricing memiliki keterbatasan utama yakni berbagai macam skema penghindaran pajak memiliki timeline terbatas sampai dengan awal tahun 2008. Sementara perkembangan terbaru dari regulasi praktik penghindaran pajak, misalnya dalam regulasi praktik transfer pricing yang telah mengacu kepada pedoman-pedoman umum dari Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) terkini, tidak dimuat dalam penelitian ini. Walaupun demikian penulis tengah mempersiapkan studi empiris yang berfokus pada perkembangan terkini regulasi praktik penghindaran pajak setelah tahun 2008.







Daftar Pustaka
Rahayu, Ning. 2010. Evaluasi Regulasi Atas Praktik Penghindaran Pajak Penanaman Modal Asing. Jurnal Akuntansi Dan Keuangan Indonesia.
Republik Indonesia, Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah disempurnakan terakhir dengan Undang Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan.
Surahmat, Rachmanto. 2000. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, Sebuah Penganta. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Surakhmad, Winamo. 1982. Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode dan
Teknik. Bandung: Tarsico.
Syafril. 2005. Thin Capitalization Sebagai Bentuk Penghindaran Pajak Pada PT.
Unitex Tbk. Periode 1984-2002. Tesis, Program Kekhususan Ilmu Administrasi dan Kebijakan Perpajakan, Program Pascasaijana FISIP UI, 2005.
Zain, Mohammad. 2005. Manajemen Perpajakan Edisi 2. Jakarta: Penerbit
Salemba Empat.

Pengaruh Rasio Keuangan Terhadap Kondisi Financial Distress Perusahaan Otomotif



Latar Belakang
Laporan keuangan menurut SAK No. 1 adalah bagian dari proses pelaporan keuangan laporan keuangan merupakan sarana pengkomunikasian informasi keuangan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dalam perusahaan. Laporan keuangan yang lengkap meliputi neraca, laporan rugi laba, laporan perubahan posisi keuangan, catatan dan laporan lain serta materi penjelasan yang merupakan bagian dari pelaporan keuangan. Untuk membuktikan bahwa laporan keuangan bermanfaat maka dilakukan penelitian mengenai manfaat laporan keuangan. Salah satu bentuk penelitian yang menggunakan rasio penelitian yang berkaitan dengan manfaat laporan keuangan untuk tujuan memprediksikan financial distress perusahaan. Laporan keuangan dapat dijadikan dasar untuk mengukur kesehatan suatu perusahaan melalui rasio keuangan yang ada dalam laporan tersebut. Rasio keuangan merupakan salah satu bentuk informasi akuntansi yang penting dalam proses penilaian kinerja perusahaan, sehungga dengan rasio keuangan tersebut dapat mengungkapkan kondisi keuangan suatu perusahaan maupun kinerja yang telah dicapai perusahaan untuk suatu periode tertentu. Kesehatan suatu perusahaan akan mencerminkan kemampuan dalam menjalankan usahanya, distribusi aktiva, keefektifan penggunaan aktiva, hasil usaha yang telah dicapai, kewajiban yang harus dilunai dan potensi kebangkuratan yang akan terjadi. Masalah keuangan yang dihadapi suatu perusahaan apabila dibiarkan berlarut-larut dapat mengakibatkan terjadinya kebangkrutan. Beberapa perusahaan yang mengalami masalah keuangan mencoba mengatasi masalah tersebut dengan melakukan pinjaman dan penggabungan usaha, atau sebaliknya ada yang menutup usahanya.
Ada beberapa indikatoe atau sumber informasi mengenai kemungkinan dari kesulita keuangan, indikator atau sumber informasi tersebut adalah. (1) analisis aru kas untuk periode sekarang dan yang akan datang. (2) analisis startegi perusahaana yang mempertimbangkan pesaing potensial, struktur biaya relatif, perluasan rencana dalam industri, kemampuan perusahaan untuk meneruskan kenaikan biaya, kualita8s manajemen dan lain sebagainya. (3) analisis laporan keuangan dari perusahaan serta perbandingannya dengan perusahaan lain. Analisis ini dapat berfokus pada suatu variabel keuangan tunggal atau suatu kombinasi dari variabel keuangan. (4) variabel eksternal seperti return sekuritas dan penilaian obligasi. Ada dua motif dilakukannya penelitian tentang prediksi financial distress perusahaan, yang pertama adalah untuk menguji hubungan dan pengaruh antar variabel faktor keuangan dan pengukuran kegagalan atau kebangkrutan, sedangkan yang kedua adalah untuk mengembangkan model dalam peramalan atau prediksi kebangkrutan. Penelitian ini dilakukan berkaitan dengan motif pertama yaitu menguji pengaruh rasio keuangan terhadap financial distress perusahaan alasan si peneliti mengambil objek perusahaan automotive and allied products karena semakin ketatnya persaingan dalam industri otomotif akan mengakibatkan perusahaan mau tidak mau harus berani mengambil langkah yang tepat dalam persaingan tersebut. Masing-masing berpacu meluncurkan produk terbaru, layanan pasca jual cepat dan terbaik, pemberian hadiah, bonus, bunga kredit yang murah sampai mendirikan klub untuk mengakrapkan antar pengguna mobil sejenis. Tingginya persaingan otomotif di Indonesia disebabkan karena pasar mobil Indonesia merupakan pasar yang potensial.
Berdasarkan penjelasan diatas si peneliti mengasumsikan bahwa semakin tinggi persaingan antar perusahaan maka akan mengakibatkan semakin tinggi pula biaya yang akan dikeluarkan perusahaan tersebut, dan selanjutnya akan berpengaruh pada profitabilitas perusahaan. Apabila usaha tersebut gagal dalam arti kalah dalam persaingan maka perusahaan tersebut akan mengalami kerugian, yang pada akhirnya akan mempengaruhi keuangan perusahaan yang akan menyebabkan perusahaan tersebut mengalami financial distress. Perbedaa berikutnya adalah proksi variabel likuiditas dalam penelitian ini menggunakan current ratio, quick ratio dan cast ratio penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sebarapa besar pengaruh variabel rasio keuangan yaitu rasio likuiditas, profitabilitas, financial levarge dan pertumbuhan penjualan dalam memprediksi kondisi dimana perusahaan dikatakan dalam kondisi financial distress yang memungkinkan perusahaan mangalami kebangkruktan selain itu juga untuk mengetahui apakah mendapatkan hasil yang sama atau berbeda dengan penelitian-penelitian terdahulu dalam hal penggunaan rasio keuangan dalam memprediksi kondisi financial distress perusahaan.
Metode
Agency Theory.
Menurut agency theory, adanya pemisahan antara kepemilikan dan pengelolaan perusahaan dapat menimbulkan konflik. Terjadinya agency conflict disebabkan hak-pihak yang terkait yaitu principal (yang memberi kontrak atau pemegang saham) dan  agen (yang menerima kontrak dan mengelola dana principal) mempunyai kepentingan yang saling bertentangan. Apabila agen dan principal berupaya memaksimalkan utilitasnya masingasing, serta memiliki keinginan dan motivasi yang berbeda, maka agen (manajemen) tidak selalu bertindak sesuai keinginan principal (Jensen dan Meckling, 1976). Agency conflict  dapat dipengaruhi oleh struktur kepemilikan (kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional). Struktur kepemilikan oleh beberapa peneliti dipercaya mampu mempengaruhi jalannya perusahaan yang pada akhirnya berpengaruh pada kinerja perusahaan dalam mencapai tujuan perusahaan yaitu maksimalisasi nilai perusahaan. Hal ini disebabkan oleh adanya kontrol yang mereka miliki. Pandangan teori keagenan bahwa terdapat pemisahan antara pihak agen dan principal yang mengakibatkan munculnya potensi konflik dapat mempengaruhi kondisi keuangan perusahaan. Dengan demikian diperlukan suatu mekanisme pengendalian yang dapat mensejajarkan perbedaan kepentingan antara kedua belah pihak.
Penelitian ini bertujuaan untuk mengetahui sebarap besar pengaruh variabel rasio keuangan yaitu rasio likuiditas, profitabilitas, financial levarge dan pertumbuhan penjualan dalam memprediksi kondisi dimana perusahaan dikatakan dalam kondisi financial distress yang memungkinkan perusahaan mengalami kebangkrutan. Selain itu juga untuk mengetahui apakah mendapatkan hasil yang sama atau berbeda dengan penelitian-penelitian terdahulu dalam hal penggunaan rasio keuangan dalam memprediksi kondisi financial distress perusahaan.
Kerangka  teoritis dan pengembangan hipotesis
Likuiditas dan financial distress
Likuiditas perusahaan menunjukkan kemampuan perusahaan dalam mendanai operasional perusahaan dalam melunasi kewajiban jangka pendek perusahaan. Menurut foster (1987) dijelaskan bahwa untuk mengetahui likuiditasd perusahaan dapat menggunakan current ratio, quick ratio dan cash ratio. Current ratio mengukur kemampuan perusahaan memenuhi hutang jangka pendeknya dengan menggunakan aktiva lancarnya. Quick ratio merupakan ukuran kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya dengan tidak memperhitungkan persediaan, karena persediaan biasanya dianggap merupakan aset yang tidak likuid. Hal ini berkaitan dengan panjangnya waktu persediaan tersebut untuk menjadi kas. Rasio kas merupakan kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya dengan memperhitungkan kas, setara kas dan investasi jangka pendek. Rasio ini menunjukkan aktiva lancar yang paling likuid dan dapat segera digunakan untuk memenuhi kewajiban jangka pendek menjadi alar prediksi kondisi financial distress suatu perusahaan.
Profitabilitas dan financial distress
Profitabilitas merupakan hasil akhir bersih dari berbagai kebijakan dan keputusan, dimana rasio ini digunakan sebagai alat pengukur atas kemampuan perusahaan untuk memperoleh keuntungan dari setiap rupiah penjualan yang dihasikan. Profitabilitas adalah tingkat keberhasilan atau kegagalan perusahaan selama jangka waktu tertentu. Rasio profitabilitas adalah rasio yang menunjukkan hasil akhir dari sejumlah kebijakan dan keputusan, sepeti profit margin on sales, return on total assets dan lain sebagainya. Rasio return on asset yang tinggi menunjukkan efisiensi menajemen asset, yang berarti perusahaan mampu menggunakan asset yang dimiliki untuk menghasilkan laba dari penjualan dan investasi yang dilakukan perusahaan tersebut.
Financial leverge dan financial distress
Financial levarage menunjukkan kemampuan perusahaan untuk mempengaruhi kewajiban baik itu jangka pendek maupun jangka panjang. Analisis terhadap rasio ini diperlukan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam membayar hutang (jangka pendek dan jangka panjang) apabila pada suatu saat perusahaan dilikuidasi atau dibubarkan. Beberapa indikator yang sering digunakan untuk mengukur tingkat solvabilitas perusahaan antara lain. Total debt to total asset ratio, total debt tio equity ratio, dan time interest earned ratio.
Pertumbuhan penjualan dan financial distress
Pertumbuhan penjualan mencerminkan kemampuan perusahaan untuk meningkatkan penjualannya dari waktu ke waktu. Semakin tinggi pertumbuhan penjualan suatu perusahaan maka perusahaan tersebut berhasil dalam menjalankan strateginya dalam hal pemasaran dan penjualan produk. Hal ini berarti semakin besar pula laba yang akan diperoleh perusahaan dari penjualan tersebut.
Hasil penelitian
Hasil pengujian hipotesis dengan regresi logit menunjukkan koefisien regresi variabel CA/CL sebesar 4.858 dan memiliki nilai signifikansi 0.156 lebih besar dari level of significant yaitu 0.10. artinya likuiditas yang diukur dengan current ratio tidak berpengaruh terhadap financial distress perusahaan . koefisien regresi variabel quick ratio adalah sebesar -13.317 dan memiliki nilai signifikansi 0.089 lebih kecil dari 0.10, artinya likuiditas yang dikur dengan quick ratio berpengarun negatif terhadap financial distress perusahaan, semakin tinggi quick ratio perusahaan maka semakin kecil kemungkinan perusahaan mengalami financial distress. Hal ini berarti perusahaan yang memiliki quik ratio yang tinggi maka perusahaan tersebut lebih likuid, yang berarti perusahaan mampu melunasi kewajiban jangka pendeknya dan mempu membiayai operasional perusahaan tersebut. Dengan adanya kecukupan biaya untuk mendanai operasional perusahaan maka perusahaan mampu memproduksi barang dan menjalankan aktivitas operasional perusahaan dan kemungkinan perusahaan mengalami kesulitan keuangan akan menjadi kecil. Koefisien regresi variabel cash ratio adalah 2.695 dan memiliki tingakt nilai signifikansi 0.516 lebih besar dari 0.10 . artinya likuiditas yang diukur dengan casf ratio tidak berpengaruh terhadap financial distress perusahaan. Artinya profitabilitas berpengaruh negatif terhadap financial distress perusahaan. Hal ini menunjukkan efisiensi dan efektivitas dari penggunaan aset perusahaan karena rasio ini mengkur kemampuan perusahaan menghasilkan laba berdasarkan penggunaan aset. Dengan adanya efektivitas dari pernggunaan aset perusahaan maka akan mengurangi biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan, dengan begitu perusahaan akan memperoleh penghematan dan akan memiliki kecukupan dana untuk menjalnkan usahanya. Dengan adanya kecukupan dana tersebut, maka kemungkinan perusahaan mengalami kesulitan keuangan akan menjadi lebih kecil.


Daftar Pustaka
Almilia, LS. 2006. Prediksi kondisi Financial Distress perusahaan Go Public Dengan Menggunakan Analisis Multinominal Logit. Jurnal Ekonomi dan Bisnis.
Atmini, S dan A Wuryan. 2005. Manfaat laba dan arus kas untuk memprediksi kondisi Financial Distress pada perusahaan Textile Mill Product dan Apparel And Other Textile Product yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
Bodroastuti, Tri. 2009. Pengaruh Struktur Corporate Governance Terhadap Financial Distress. Sekolah tinggi Ilmu Ekonomi Widya Manggala.
Kurniasari, Christina. 2013. Analisis Pengaruh Rasio Camel Dalam Memprediksi Financial Distress Perbankan Indonesia. Skripsi.
Pratitis, Yanwar Titi. 2012. Auditor Switching Analisis Berdasar Ukuran KAP, Ukuran Klien dan Financial Distress.
Ramadhany, Alexander. Analisi faktor-faktor yang mempengaruhi Penerimaan Opini Going Concern Pada Perusahaan Manufaktur yang Mengalami Financial Distress Di Bursa Efek Jakarta. Tesis.
Sigit, R. 2008. Pengaruh rasio likuiditas, financial levarage dan Arus kas untuk memprediksi Financial Distress pada perusahaan Real Esatate And propety Yang terdaftar di BEJ tahun 2004-2005. Skripsi.
Widarjo, wahyu dan Doddy Setiawan. 2009. Pengaruh rasio keuangan terhadap kondisi financial distress perusahaan otomotif. Jurnal Bisnis Dan Akuntansi.

Implementasi Harga Transfer Atas Perpajakan Internasional



Latar Belakang
Pemerintah Indonesia melalui Direktorat Jenderal Pajak telah melakukan upaya penanganan serius terhadap transaksi internasional (cross-border transaction) yaitu, transaksi yang dilakukan Wajib Pajak Dalam Negeri (Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan) atau Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia dengan Wajib Pajak Luar Negeri diluar Indonesia. Hal tersebut dibuktikan dengan membentuk unit khusus di Subdirekorat Pemeriksaan Transaksi  Khusus, Direktorat Pemeriksan dan Penagihan, yang salah satu tugas pokok dan fungsinya melakukan pengawasan dan pemeriksaan atas Wajib Pajak Grup atau Wajib Pajak yang melakukan transfer pricing terhadap transaksinya dalam satu grup perusahaan. Selain itu juga, Direktorat Jenderal Pajak membuat kebijakan-kebijakan untuk memperkuat peraturan pelaksanaannya agar memberikan kepastian hukum terhadap transaksi transfer pricing dan memberikan pelatihan pelatihan kepada seluruh stafnya khususnya bagi Fungsional Pemeriksa Pajak, Penelaah Kebaratan, dan Account Representative. Pemerintah Indonesia melalui Direktorat Jenderal Pajak telah melakukan upaya  penanganan serius terhadap transaksi internasional (cross-border transaction) yaitu, transaksi yang dilakukan Wajib Pajak Dalam Negeri (Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan) atau Bentuk  Usaha Tetap (BUT) di Indonesia dengan Wajib Pajak Luar Negeri diluar Indonesia. Hal tersebut dibuktikan dengan membentuk unit khusus di Subdirekorat Pemeriksaan Transaksi  Khusus, Direktorat Pemeriksan dan Penagihan, yang salah satu tugas pokok dan fungsinya melakukan pengawasan dan pemeriksaan atas Wajib Pajak Grup atau Wajib Pajak yang melakukan transfer pricing terhadap transaksinya dalam satu grup perusahaan. Selain itu juga, Direktorat Jenderal Pajak membuat kebijakan-kebijakan untuk memperkuat peraturan pelaksanaannya agar memberikan kepastian hukum terhadap transaksi transfer pricing dan memberikan pelatihanpelatihan kepada seluruh stafnya khususnya bagi Fungsional Pemeriksa Pajak, Penelaah Kebaratan, dan Account Representative.       
Praktik transfer pricing yang terjadi pada umumnya sebagai perwujudan untuk melakukan tax avoidance atau tax evasion. Sebagai contoh nyata yang terjadi di Indonesia, menurut Lukluk Fuadah dalam Jurnal Keuangan dan Bisnis (Vol. 6, No. 2, Oktober 2008) adanya suatu masalah transaksi transfer pricing yang dilakukan oleh PT Asian Agri yang merupakan induk usaha terbesar kedua di Grup Raja Garuda Mas, perusahaan milik Sukanto Tanoto, orang terkaya di Indonesia pada 2006 versi majalah forbes. Sehubungan dengan hal-hal yang telah disampaikan diatas, penulis akan menyajikan suatu tulisan/penelitian kualitatif yang bersifat eksplorasi studi pustaka dengan tema penentuan harga transfer (transfer pricing) atas transaksi internasional (cross-border transaction) dari perspektif Indonesia. Sistematika penulisan meliputi landasan teori, transaksi hubungan istimewa, prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arm's length principle), analisis kesebandingan, penentuan harga transfer (transfer pricing) dan kesimpulan.
UNDANG-UNDANG MENGENAI TRANSFER PRICING
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009, diatur bahwa pengertian Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan  yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Penentuan harga transfer (transfer pricing) menyentuh aspek perpajakan sehingga yang disajikan adalah peraturan-peraturan perpajakan yang terkait dengan perpajakan internasional (international taxation) seperti halnya dalam pengertian Pajak menurut Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Selain itu, buku buku perpajakan dan jurnal-jurnal perpajakan yang memuat kajian dan ulasan tentang perpajakan khususnya perpajakan internasional atau manajemen perpajakan. Peraturan-peraturan perpajakan yang terkait dengan perpajakan internasional (international taxation) meliputi:
1.      Ketentuan Pasal 32A Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, diatur bahwa pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak.
2.      Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 dan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009, diatur bahwa adanya suatu transaksi yang dikategorikan sebagai transaksi hubungan istimewa.
3.      Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Negara Mitra diatur mengenai Associated Enterprises (Hubungan Istimewa). 
4.      Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2011 tentang Perubahan atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha Dalam Transaksi Antara Wajib Pajak Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini disebut dengan Pendekatan Kualitatif karena dianalisis melalui beberapa peraturan- peraturan yang berlaku mengenai Transfer Pricing. Teknik pengumpulan data yang   digunakan adalah dokumentasi dan studi hubungan istimewa menurut ketentuan peraturan perundang-undangan pajak diatur sebagai berikut:
1.      Undang-undang Pajak Penghasilan
Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, diatur bahwa hubungan istimewa dianggap ada apabila:
a.       Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain; hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih; atau hubungan di antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir.
b.      Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau
c.       terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat.
Secara garis besarnya bahwa hubungan istimewa di antara Wajib Pajak dapat terjadi karena ketergantungan atau keterikatan satu dengan yang lain yang disebabkan:
a.         kepemilikan atau penyertaan modal; atau
b.         adanya penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi.
Selain karena hal-hal tersebut, hubungan istimewa di antara Wajib Pajak orang pribadi dapat pula terjadi karena adanya hubungan darah atau perkawinan.
Kepemilikan atau Penyertaan Modal 
Hubungan istimewa dianggap ada apabila terdapat hubungan kepemilikan yang berupapenyertaan modal sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih secara langsung ataupun tidaklangsung. Misalnya, PT A mempunyai 50% (lima puluh persen) saham PT B. Pemilikan sahamoleh PT A merupakan penyertaan langsung. Selanjutnya, apabila PT B mempunyai 50 % (limapuluh persen) saham PT C, PT A sebagai pemegang saham PT B secara tidak langsungmempunyai penyertaan pada PT C sebesar 25% (dua puluh lima persen). Dalam hal demikian,antara PT A, PT B, dan PT C dianggap terdapat hubungan istimewa. Apabila PT A jugamemiliki 25% (dua puluh lima persen) saham PT D, antara PT B, PT C, dan PT D dianggap terdapat hubungan istimewa. Hubungan kepemilikan seperti di atas dapat juga terjadi antara orang pribadi dan badan.
Adanya Penguasaan Melalui Manajemen
Hubungan istimewa di antara Wajib Pajak dapat juga terjadi karena penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi walaupun tidak terdapat hubungan kepemilikan. Hubungan istimewa dianggap ada apabila satu atau lebih perusahaan berada di bawah penguasaan yang sama. Demikian juga hubungan di antara beberapa perusahaan yang berada dalam penguasaan yang sama tersebut.
Adanya Hubungan Darah Atau Perkawinan
Yang dimaksud dengan "hubungan keluarga sedarah dalam  garis keturunan lurus satu derajat" adalah ayah, ibu, dan anak, sedangkan "hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan ke samping satu derajat" adalah saudara. keturunan lurus satu derajat" adalah mertua dan anak tiri, sedangkan "hubungan keluarga semenda dalam garis keturunan ke samping satu derajat" adalah ipar. adalah ayah, ibu, dan anak, sedangkan "hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan ke samping satu derajat" adalah saudara. Yang dimaksud dengan "keluarga semenda dalam garis  rajat" adalah mertua dan anak tiri, sedangkan "hubungan keluarga semenda dalam garis keturunan ke samping satu derajat" adalah ipar. Garis keturunan lurus satu derajat" adalah ayah, ibu, dan anak, sedangkan "hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan ke Yang dimaksud dengan "keluarga semenda dalam garis rajat" adalah mertua dan anak tiri, sedangkan "hubungan keluarga.
Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan  atas Barang Mewah
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009, diatur bahwa hubungan istimewa dianggap ada apabila :
a.       Pengusaha mempunyai penyertaan langsung atau tidak langsung sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih pada Pengusaha lain, atau hubungan antara Pengusaha dengan penyertaan 25% (dua puluh lima persen) atau lebih pada dua pengusaha atau lebih, demikian pula hubungan antara dua Pengusaha atau lebih yang disebut terakhir; atau    
b.      Pengusaha menguasai Pengusaha lainnya atau dua atau lebih Pengusaha berada di bawah penguasaan. Penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau
c.       Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat dan/atau ke samping satu derajat.
Secara garis besar bahwa hubungan istimewa antara Pengusaha Kena Pajak dengan pihak yang menerima penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dapat terjadi karena ketergantungan atau keterkaitan satu dengan yang lain yang disebabkan karena :
a.       faktor kepemilikan atau penyertaan;
b.      adanya penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi.
Selain karena hal-hal tersebut di atas, hubungan istimewa di antara orang pribadi dapat pula terjadi karena adanya hubungan darah atau karena perkawinan.

PRINSIP KEWAJARAN DAN KELAZIMAN USAHA (ARM'S LENGTH PRINCIPLE)
Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (arm's length principle) merupakan prinsip yang mengatur bahwa apabila kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa sama atau sebanding dengan kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang menjadi pembanding, maka harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa harus sama dengan atau berada dalam rentang harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang menjadi pembanding.  Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a.       melakukan Analisis Kesebandingan dan menentukan pembanding;
b.       menentukan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat;
c.       menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha berdasarkan hasil Analisis Kesebandingan dan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat ke dalam transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa; dan
d.      mendokumentasikan setiap langkah dalam menentukan Harga Wajar atau Laba Wajar sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (Arm's Length Principle) mendasarkan pada  norma bahwa harga atau laba atas transaksi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa ditentukan oleh kekuatan pasar, sehingga transaksi tersebut mencerminkan harga pasar yang wajar (Fair Market Value).

ANALISIS KESEBANDINGAN
Dalam melakukan Analisis Kesebandingan sesuai dengan Prinsip Kewajaran dan
Kelaziman Usaha harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a.       transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dianggap sebanding dengan transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa dalam hal :
1.      tidak terdapat perbedaan kondisi yang material atau signifikan yang dapat  mempengaruhi harga atau laba dari transaksi yang diperbandingkan; atau
2.       terdapat perbedaan kondisi, namun dapat dilakukan penyesuaian untuk  menghilangkan pengaruh yang material atau signifikan dari perbedaan kondisi tersebut terhadap harga atau laba;
b.      dalam hal tersedia Data Pembanding Internal dan Data Pembanding Eksternal dengan tingkat kesebandingan yang sama, maka Wajib Pajak wajib menggunakan Data Pembanding Internal untuk penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar.
c.       dalam hal Data Pembanding Internal yang tersedia bersifat insidental, maka Data Pembanding Internal dimaksud hanya dapat dipergunakan dalam transaksi yang bersifat insidental antara Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
Data Pembanding Internal adalah data Harga Wajar atau Laba Wajar dalam transaksi sebanding yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa. Sedangkan Data Pembanding Eksternal adalah data Harga Wajar atau Laba Wajar dalam transaksi sebanding yang dilakukan oleh Wajib Pajak lain dengan pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa. Data Pembanding Internal dan Data Pembanding  Eksternal harus memenuhi faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kesebandingan. Dalam hal Data Pembanding Internal telah memenuhi faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kesebandingan, maka Data Pembanding Eksternal tidak diperlukan. Data Pembanding Eksternal dapat diperoleh dari database komersial maupun database lainnya.  Wajib Pajak wajib mendokumentasikan langkah-langkah, kajian, dan hasil kajian dalam melakukan Analisis Kesebandingan dan penentuan pembanding, penggunaan Data Pembanding Internal dan/atau Data Pembanding Eksternal serta menyimpan buku, dasar catatan, atau dokumen sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam melaksanakan Analisis Kesebandingan harus dilakukan analisis atas faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kesebandingan antara lain:
a.       karakteristik barang/harta berwujud dan barang/harta tidak berwujud yang diperjualbelikan;
b.  fungsi masing-masing pihak yang melakukan transaksi;
c.  ketentuan-ketentuan dalam kontrak/perjanjian;
d.  keadaan ekonomi; dan
e.  strategi usaha.
Wajib Pajak wajib mendokumentasikan langkah-langkah, kajian, dan hasil kajian atas faktor faktor tersebut dan menyimpan buku, dasar catatan, atau dokumen sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Karakteristik Barang/Harta Berwujud Dan Barang/Harta Tidak Berwujud
Dalam menilai dan menganalisis karakteristik barang/harta berwujud dan barang/harta tidak berwujud, harus dilakukan analisis terhadap jenis barang atau jasa yang diperjualbelikan, dialihkan, atau diserahkan, baik oleh pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa maupun oleh pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa. Analisis karakteristik barang berwujud harus dipertimbangkan antara lain :
a.       ciri-ciri fisik barang;
b.  kualitas barang;
c.  daya tahan barang;
d.  tingkat ketersediaan barang; dan
e.  jumlah penawaran barang.
Analisis karakteristik barang tidak berwujud harus dipertimbangkan antara lain :
a.  jenis transaksi;
b.  jenis barang tidak berwujud yang diserahkan;
c.  jangka waktu dan tingkat perlindungan yang diberikan; dan
d.  potensi manfaat yang dapat diperoleh dari penggunaan barang tidak berwujud tersebut.
PENENTUAN HARGA TRANSFER (TRANSFER PRICING)
Dalam penentuan metode Harga Wajar atau Laba Wajar wajib dilakukan kajian untuk menentukan metode Penentuan Harga Transfer (transfer pricing) yang paling sesuai (The Most Appropiate Method). Metode Penentuan Harga Transfer (transfer pricing) yang dapat diterapkan adalah :
a.       Metode Perbandingan Harga antara Pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa (Comparable Uncontrolled Price/CUP);
b.      Metode Harga Penjualan Kembali (Resale Price Method/RPM);
c.       Metode Biaya-Plus (Cost Plus Method);
d.      Metode Pembagian Laba (Profit Split Method/PSM); atau
e.       Metode Laba Bersih Transaksional (Transactional Net Margin Method/TNMM).
Dalam menerapkan metode Penentuan Harga Transfer yang paling sesuai wajib
diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a.       kelebihan dan kekurangan setiap metode;
b.      kesesuaian metode Penentuan Harga Transfer dengan sifat dasar transaksi antar pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa, yang ditentukan berdasarkan analisis fungsional;
c.       ketersediaan informasi yang handal (sehubungan dengan transaksi antar pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa) untuk menerapkan metode yang dipilih dan/atau metode lain;
d.      tingkat kesebandingan antara transaksi antar pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan transaksi antar pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa, termasuk kehandalan penyesuaian yang dilakukan untuk menghilangkan pengaruh yang material dari perbedaan yang ada.
Wajib Pajak wajib mendokumentasikan kajian yang dilakukan dan menyimpan buku,  dasar catatan, atau dokumen sesuai dengan ketentuan yang berlaku.




Daftar Pustaka
Aritonang, J.M., Tony Marsyahrul. (2008). Perpajakan Internasional sebagai Materi Studi di Perguruan Tinggi. Jakarta: PT Grasindo.
Darussalam, Danny Septriadi. (2008). Konsep dan Aplikasi Cross-Border Transfer Pricing untuk  Tujuan Perpajakan. Jakarta: Danny Darussalam Tax Center.
Darussalam, John Hutagaol, Danny Septriadi. (2010). Konsep dan Aplikasi Perpajakan Internasional. Jakarta: Danny Darussalam Tax Center (PT Dimensi Internasional Tax).
Gunadi. (2007). Pajak Internasional. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Indonesia.
Hutagaol, J., Darussalam, dan Septriady, Danny. (2006). Kapita Selekta Perpajakan. Jakarta: Penerbit Salemba Empat.
Kurniawan, Anang Mury. (2011). Pajak Internasional Beserta Contoh Aplikasi. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia.
Lukluk Fuadah. (2008). Analisa Transaksi-Transaksi Yang Terjadi Dalam Masalah Transfer  Pricing Pada Kasus PT Asian Agri Di Indonesia. Jurnal Keuangan dan Bisnis. Vol. 6,No. 2, Oktober 2008, Hal. 108-129.  
Setiawan, Deddy Arief. 2010. Penentuan Harga Transfeer Atas Transaksi Intermasional Dari Perspektif Perpajakan Indonesia.
Suandy, Erly. (2003). Perencanaan Pajak. Jakarta: Penerbit Salemba Empat.
Zakaria, Jaja. (2005). Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Zain, Mohammad. (2007). Manajemen Perpajakan. Jakarta: Penerbit Salemba Empat.