Latar Belakang
Dalam
rangka menarik investor asing, banyak
negara secara aktif mempromosikan negaranya
agar menjadi lokasi investasi dengan memberikan
berbagai insentif. Insentif tersebut dapat
berupa insentif non pajak maupun insentif pajak.
Insentif non pajak pada umumnya diberikan
dalam bentuk pembangunan infrastruktur
yang memadai, kemudahan memperoleh
bahan baku, penyediaan tenaga kerja terlatih atau pemberian jaminan
keamanan. Sementara itu, insentif pajak pajak diberikan
melalui pemberian tax holiday, pajak yang
rendah bagi investor asing, penyusutan dipercepat
atau investment allowance. Bagi
Indonesia, undangan pemerintah kepada
investor asing untuk terus menanamkan investasi
di Indonesia tak pernah berhenti diserukan.
Pemerintah Indonesia tidak kalah gencar
berupaya menarik investor untuk mencapai
target pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Pada tahun 2006 antara lain melalui penerbitan
Instruksi Presiden Nomor 3 tahun 2006,
pemerintah mengeluarkan dua paket kebijakan
yang memuat paket kebijakan pembangunan
infrastruktur dan paket kebijakan iklim
investasi. Pemerintah menerbitkan Peraturan
Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang
Fasilitas Pajak Penghasilan untuk penanaman
modal di bidang-bidang usaha tertentu
dan atau di daerah-daerah tertentu. Fasilitas
Pajak Penghasilan yang diberikan
adalah berupa pengurangan penghasilan neto, penyusutan dan amortisasi yang dipercepat,
pengenaan Pajak Penghasilan atas dividen
sebesar 10%, atau tarif yang lebih rendah,
dan kompensasi kerugian yang lebih lama
dari 5 tahun. Agenda yang masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah diantaranya perbaikan atau sinkronisasi kebijakan
iklim investasi, masalah perpajakan,
infrastruktur, peraturan perburuhan,
dan koordinasi antar pengambil
kebijakan dalam pemerintahan (World
Bank 2005). Bagi wajib
pajak, khususnya Penanaman Modal
Asing (PMA), upaya efisiensi pajak dilakukan
dengan memanfaatkan peluang yang
terdapat dalam ketentuan perpajakan yang
berlaku dikenal dengan tax planning dan
tidak melanggar hukum. PMA lazim melakukan
perencanaan pajak, baik yang bersifat
aktif (agresif) maupun pasif (non-agresif), agar memperoleh manfaat sebesar mungkin dari kebutuhan negara berkembang seperti Indonesia yang masih mengalami
deficit pendanaan proyek yang padat modal. Namun di sisi pemerintah, tentu saja
perencanaan pajak demikian
dapat dipersepsikan sebagai praktik
penghindaran pajak.
Dalam
upaya mengidentifikasi serta menangkal
praktik penghindaran pajak yang dilakukan
oleh perusahaan Penanaman Modal Asing,
pada umumnya negara menerbitkan ketentuan
pencegahan penghindaran pajak yang
bersifat khusus (Specific Anti Avoidance Rule/SAAR)
yang diatur dalam undang-undang domestiknya,
seperti: Controlled Foreign Company
(CFC), arm’s length rule, advance pricing
agreement, dan debt to equity ratio (DER).
Dalam praktik di beberapa negara, specific
anti avoidance rule berjalan efektif dalam
menangkal praktik penghindaran pajak dan
memberikan kepastian hukum bagi wajib pajak
(Thuronyi 1998,193). Selain
ketentuan yang bersifat khusus tersebut,
banyak negara juga menerbitkan ketentuan pencegahan
penghindaran pajak yang
bersifat umum {General Anti Avoidance Rule/GAAR).
Tujuan dibuatnya GAAR adalah langkah antisipasi
praktik penghindaran pajak yang
belum diatur dalam ketentuan yang bersifat
khusus atau untuk melawan tindakan tax
avoidance yang pada saat dibuatnya peraturan
belum dikenal. Dalam kaitan
ini, fenomena cukup banyaknya
perusahaan PMA yang melaporkan rugi
pada laporan keuangannya dan tidak membayar
pajak berturut-turut selama 5 tahun
atau lebih yang antara lain ditengarai karena
praktik penghindaran pajak, menuntut perhatian
lebih dari pemerintah khususnya Direktorat
Jenderal Pajak. Sukar diperoleh angka
yang pasti dari fenomena perusahaan PMA
yang tidak membayar pajak akibat kerugian
dalam laporan keuangannya.
Dalam
upaya menyikapi dan mencari solusi
atas permasalahan tersebut, perlu dikaji dua masalah
pokok: pertama perlu dikaji
bagaimana ketentuan penangkal penghindaran
pajak {Anti Tax Avoidance) dapat
meminimalisasi praktik penghindaran pajak. Kedua, perlu kajian tentang bagaimana pengalaman negara lain yang telah
menerapkan SAAR dan GAAR, sebagai
pembanding dan benchmarking,
terhadap regulasi yang berlaku di
Indonesia. Bila penelitian sebelumnya lebih
berfokus kepada penggelapan pajak {tax evasion) serta
penelitian suatu skema tertentu
yang umumnya digunakan PMA, maka
kontribusi studi ini mengidentifikasi lima
skema utama praktik penghindaran pajak dengan
karakteristik berbeda dari penggelapan pajak
beserta tax loopholes yang dimiliki UU Perpajakan
Indonesia. Studi ini
dilakukan dengan berfokus pada
regulasi yang dapat dimanfaatkan PMA untuk
melakukan praktik penghindaran pajak {tax
avoidance). Tinjauan literatur praktik penghindaran
pajak diuraikan pada bagian kedua
makalah ini, termasuk beberapa penelitian
terdahulu yang memiliki topic penelitian
selaras dengan masalah pokok yang dikaji
tentang tax avoidance. Bagian ketiga menjelaskan
metode kajian yang dilakukan. Bagian
keempat paper ini menganalisis peraturan
yang berlaku dalam menangkal tax avoidance
serta peluang yang masih dapat dimanfaatkan,
yang diakhiri dengan analisis komparatif
regulasi SAAR maupun GAAR beberapa
negara. Selanjutnya simpulan dan rekomendasi
studi dikemukakan pada bagian penutup.
Peraturan praktik Tax Avoidance Indonesia diarahkan
kepada upaya menangkal praktik penghindaran pajak, khususnya yang dilakukan oleh pihak yang mempunyai hubungan
istimewa, diatur dalam pasal 18 Undang Undang Pajak Penghasilan tentang Hubungan
Istimewa. Kebijakan penangkal penghindaran pajak tersebut bersifat khusus (Specific
Anti Tax Avoidance/ SAAR). Pembahasan regulasi praktik tax avoidance disusun
dengan mengacu pada kerangka pemikiran yang diajukan, peneliti mengkaji pajak
penghasilan dari Perusahaan Modal Asing yang diduga melakukan praktik penghindaran
pajak dengan menggunakan skema yang dibahas dalam bagian kedua makalah ini.
Kerangka pemikiran digunakan untuk memperjelas langkah-langkah yang peneliti
lakukan dalam studi kualitatif ini. Adapun
beberapa skema praktik penghindaran pajak
yang diatur dalam pasal 18 Undang-Undang Pajak Penghasilan tersebut adalah:
Penangkal Praktik Thin Capitalization Melalui Penentuan
Besaran Debt Equity Ratio (DER)
Upaya men a n g k a l
p r a k t i k thin capitalization
yaitu praktik membiayai cabang atau anak perusahaan lebih banyak dari utang dibandingkan
modal sendiri, dalam hal ini, Menteri Keuangan Republik Indonesia diberi kewenangan
untuk menentukan besarnya rasio antara hutang dengan modal (Debt Equity Ratio).
Sebagai tindak lanjut dari kewenangan yang diberikan Undang –Undang Pajak Penghasilan
kepada Menteri Keuangan tersebut, maka pada 8 Oktober 1984 diterbitkan Keputusan
Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor 1002/KMK.04/1984 tentang Penentuan
Perbandingan Antara Hutang dan Modal Sendiri Untuk Keperluan Pengenaan Pajak
Penghasilan. Dalam KMK1002/KMK04/1984 diatur bahwa untuk keperluan penghitungan
Pajak Penghasilan besarnya perbandingan
antara hutang dan modal sendiri (debt equty ratio). Dalam keputusan tersebut
yang dimaksud dengan utang adalah saldo rata-rata pada tiap akhir bulan yang
dihitung dari semua hutang baik utang jangka panjang maupun utang jangka
pendek, selain utang dagang. Sementara itu, modal sendiri adalah jumlah modal
yang disetor pada akhir tahun pajak termasuk laba yang tidak dan atau belum
dibagikan. Dalam hal ini besarnya perbandingan hutang dan modal sendiri yang
diatur adalah sebesar 3:1. Dengan pertimbangan bahwa penentuan besarnya
perbandingan antara utang dan modal sendiri
oleh pemerintah dianggap dapat menghambat perkembangan dunia usaha, maka
Menteri Keuangan menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan nomor 254/ KMK.01/1985,
tanggal 8 Maret 1985 tentang Penundaan Pelaksanaan Keputusan Menteri Keuangan
Republik Indonesia nomor 1002/ KMK.04/1984 tanggal 8 Oktober 1984 tentang Penentuan
Perbandingan Antara Hutang dan Modal Sendiri Untuk Keperluan Pengenaan Pajak
Penghasilan. Sebagaimana diketahui pembatasan rasio utang dan modal sendiri bemuasa
restriksi atas penanaman modal asing dan modal dalam negeri, saat peraturan dikeluarkan
pemerintah sedang melakukan deregulasi hambatan investasi di dalam negeri. Pada
sisi lain, bila tanpa pengaturan DER dan persyaratan kepemilikan maka praktik
thin capitalization menjadi sangat mudah dilakukan dalam konteks penghindaran
pajak. Penundaan berlakunya ketentuan tentang perbandingan antara utang dengan
modal sendiri tersebut adalah tanpa batas waktu. Penulis memang tidak memiliki
data valid atas dugaan perusahaan PMA menggunakan absennya pengaturan debt to
equity ratio ini dalam UU Pajak Penghasilan, misalnya jumlah perusahaan
penanaman modal asing yang terindikasi menggunakan thin capitalization, namun
berdasarkan regulasi negara lain yang sudah mengaturnya maka regulasi atas
peluang loophole DER mendesak untuk dipenuhi. Masa berlakunya ketentuan
mengenai besarnya perbandingan antara hutang dengan modal (Debt Equity Ratio) sebagaimana diatur oleh
Menteri Keuangan tersebut sangat singkat, karena pada Maret 1985 ketentuan
ditunda sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Dengan penundaan tersebut
maka sejak saat itu sampai sekarang Indonesia tidak memiliki aturan tentang
Debt Equity Ratio/DER. Hal ini berarti sampai saat ini Indonesia tidak memiliki
aturan penangkal praktik thin capitalization.
Mengingat pentingnya aturan mengenai besarnya Debt Equty
Ratio untuk mencegah praktik thin capitalization yang merugikan penerimaan
negara dari sektor pajak, maka banyak negara mengatur mengenai besarnya Debt
Equity Ratio tersebut dalam ketentuan thin capitalization rules di negaranya
yang dipadukan dengan persyaratan kepemilikan. Misalnya Jepang membatasi DER
3:1 dengan syarat kepemilikan lebih dari lima puluh persen, Australia juga
membatasi rasio DER 3:1 namun kepemilikannya lebih rendah yaitu 15 persen dan Kanada lebih ketat membatasi rasio
DER 2:1 dengan syarat kepemilikan sampai dengan 25 persen. Selain isu syarat kepemilikan
maka pengaturan besarnya rasio utang terhadap ekuitas mempertimbangkan tipologi
industri di mana regulasi pencegahan praktik thin capitalization pada industri manufaktur
akan berbeda pengaturan Debt Equity Ratio-nya pada industri konstruksi2. Best
practice Negara-negara di atas juga telah mempertimbangkan faktor jenis
industri. Implikasi terpenting tanpa pengaturan besaran Debt to Equity Ratio
maka Perusahaan PMA dapat melakukan penghindaran pajak melalui skema thin
capitalization, praktik thin capitalization pada dasarnya adalah praktik penyetoran
modal terselubung melalui pemberian pinjaman yang melampaui batas kewajaran.
Pembiayaan induk perusahaan semata-mata melalui utang anak perusahaan dengan
skema direct loan (pinjaman langsung), skema parallel loan, dan skema back to
back loan.
Regulasi Praktik Pemanfaatan Negara Tax Haven Melalui
Kebijakan Dividen Perusahaan
Terkait praktik penghindaran pajak melalui pemanfaatan
negara tax haven dan juga Controlled Foreign Corporation (CFC), Menteri
Keuangan Republik Indonesia diberi kewenangan untuk menetapkan saat diperolehnya
dividen oleh wajib pajak 2 Penulis mendapatkan masukan berharga dari Editor jurnal
atas usulan regulasi DER masing-masing industri. dalam negeri atas penyertaan
modal pada badan usaha di luar negeri yang sahamnya tidak diperdagangkan di
bursa efek. Sebagai tindak lanjut dari kewenangan tersebut, maka pada tanggal
29 Desember 1994 diterbitkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia
nomor 650/KMK.04/1994 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen Atas Penyertaan
Modal Pada Badan Usaha di Luar Negeri yang Sahamnya Tidak Diperdagangkan di
Bursa Efek. Dalam KMK no 650/KMK.04/1994 diatur bahwa untuk keperluan
penghitungan Pajak Penghasilan, saat diperolehnya dividen oleh wajib pajak dalam
negeri ditetapkan pada bulan keempat setelah berakhirnya batas waktu kewajiban penyampaian surat pemberitahuan tahunan
Pajak Penghasilan badan usaha di luar negeri untuk tahun yang bersangkutan. Apabila
tidak ada ketentuan batas waktu penyampaian surat pemberitahuan tahunan pajak
penghasilan atau tidak ada kewajiban menyampaikan surat pemberitahuan tahunan pajak
penghasilan, maka saat diperolehnya dividen ditetapkan pada bulan ketujuh
setelah tahun pajak berakhir. Wajib pajak dalam negeri (WPDN) yang dimaksud
dalam KMK no.650 adalah WPDN yang memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai
berikut:
a), memiliki sekurang-kurangnya 50% dari jumlah saham yang disetor pada badan usaha di
luar negeri; atau
b), secara bersama-sama dengan wajib pajak dalam negeri lainnya
memiliki sekurangkurangnya 50% dari jumlah saham yang disetor pada badan usaha
di luar negeri.
Sementara itu, badan usaha di luar negeri sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri
Keuangan tersebut adalah badan usaha yang bertempat kedudukan di negara-negara
tax haven. Sebagai tindak lanjut dariditerbitkannya Keputusan Menteri Keuangan Republik
Indonesia nomor 650/KMK.04/ 1994, tanggal 29 Desember 1994 tersebut, Direktorat
Jenderal Pajak menerbitkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE- 22/PJ.4/1995,
tanggal 26 April 1995 tentang Dividen Dari Penyertaan Modal Pada Badan Usaha di
Luar Negeri Yang Sahamnya Tidak Diperdagangkan di Bursa Efek serta Surat Edaran
Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE-35/PJ.4/1995, tanggal 7 Juli 1995 tentang Penegasan
Lebih Lanjut Atas Dividen Dari Penyertaan Modal Pada Badan Usaha di Luar Negeri Yang Sahamnya Tidak Diperdagangkan di
Bursa Efek. Pada skema pemanfaatan negara tax haven dan CFC fokus regulasi
penangkal kedua skema tersebut terdapat pada pembagian dividen oleh para wajib
pajak atas penyertaan modal pada entitas usaha luar negeri yang sahamnya tidak
diperdagangkan di Bursa Efek. Ketentuan
penangkal praktik CFC dalam pasal 18 ayat (2) memberikan kewenangan untuk
menetapkan saat perolehan dividen oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas saham
badan usaha di Luar Negeri dimana sahamnya tidak diperdagangkan di Bursa Efek,
termasuk Keputusan Menteri Keuangan No-650/1994 yang didesain meminimalisasi
praktik CFC. Problematika tax haven kemudian sejak diterbitkannya regulasi di
atas yaitu sejak tahun 1994 sampai saat ini daftar negara tax haven tersebut
tidak pernah diperbaharui. Ketentuan yang sudah terlalu lama tersebut
menyebabkan daftar negara-negara tax haven tersebut sudah tidak relevan dengan
perkembangan yang ada. Akibatnya wajib pajak dalam negeri masih dapat melakukan
praktik penghindaran pajak dengan melakukan investasi di negara tax haven
lainnya yang tidak tercantum dalam daftar negara tax haven menurut Keputusan Menteri
Keuangan Republik Indonesia. Banyak negara telah menerapkan kriteria negara tax
haven menurut kriteria tertentu, misalnya Korea Selatan mendefinisikan negara tax
haven bila beban pajak yang dibayar di Korea Selatan kurang dari 15% dari
penghasilan kena pajak. Beberapa contoh negara dengan kriteria penerapan negara
tax haven.
Penetapan negara-negara tax haven berdasarkan list
mengandung kelemahan sistemik karena pertama, apabila tidak sering diperbaharui,
karena perkembangan sangat cepat. Untuk mengantisiapasi hal ini banyak negara yang
menentukan negara tax haven berdasarkan kriteria-kriteria tertentu, seperti berdasarkan
kriteria besarnya tarif pajak yang berlaku di negara tersebut. Kedua, dalam
ketentuan pasal 18 ayat (2) sebagai CFC Rules Indonesia adalah dalam hal
kontrol. Indonesia menggunakan pendekatan hukum, yaitu kepemilikan pada CFC
sebesar lebih dari 50% secara sendiri atau bersama-sama dengan Wajib Pajak
Dalam Negeri lainnya. Dalam hal ini definisi kontrol yang diterapkan Indonesia
hanya terbatas pada kepemilikan saham secara langsung terhadap badan usaha di
luar negeri tersebut. Praktik CFC rules Korea Selatan juga mengatur bahwa
kepemilikan tidak langsung juga termasuk dalam pengertian kontrol dan pengenaan
aturan CFC tidak hanya dapat dilakukan pada lapisan pertama, lapisan kedua maupun
lapisan-lapisan selanjutnya. Diperlukan adanya pengaturan kepemilikan tidak
langsung, misalnya kepemilikan cucu perusahaan melalui anak perusahaan. Ketentuan
CFC Rules Indonesia juga hanya menyangkut passive income saja sedangkan active
income tidak tercakup dalam ketentuan.
Regulasi Praktik Transfer Pricing Melalui Perhitungan
Penghasilan Kena Pajak (PKP) Wajib Pajak
dengan Hubungan Istimewa
Guna menangkal praktik transfer pricing, Direktur
Jenderal Pajak diberi kewenangan untuk menentukan kembali besarnya penghasilan
dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya
Penghasilan Kena Pajak (PKP) bagi wajib pajak yang mempunyai hubungan istimewa
dengan wajib pajak lainnya sesuai dengan
kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan
istimewa, Adapun kriteria yang digunakan
untuk menentukan adanya hubungan istimewa adalah sebagai berikut:
a.
Terdapat
penyertaan saham sekurang- kurangnya 25%
baik secara langsung
maupun tidak langsung.
b. Terdapat
penguasaan yang sama.
c. Terdapat hubungan keluarga, baik sedarah maupun semenda, dalam garis keturunan lurus
atau ke samping satu derajat.
Sebagai tindak lanjut dari kewenangan Direktur Jenderal Pajak
tersebut, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Edaran Nomor SE - 04/ PJ.7 / 1993 tentang Petunjuk Penanganan
Kasus-kasus Transfer Pricing. Dalam surat edaran tersebut disebutkan bahwa hubungan
istimewa dapat berimplikasi pada: kekurangwajaran harga, biaya atau imbalan lain
yang direalisasikan dalam transaksi usaha. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak
tersebut juga menegaskan bahwa transfer pricing dapat terjadi antar Wajib Pajak
Dalam Negeri (WPDN) atau antara Wajib Pajak Dalam Negeri dengan pihak Luar
Negeri, terutama yang berkedudukan di negara-negara tax haven. Terhadap
transaksi antar wajib pajak yang mempunyai hubungan istimewa tersebut, Undang-Undang
perpajakan Indonesia meng anut azas materiil (substance over f orm principle).
Untuk menentukan kewajaran harga dari transaksi yang terjadi antara pihak- pihak
yang mempunyai hubungan istimewa, surat edaran Direktur Jenderal Pajak tersebut
memperkenalkan beberapa metode beserta contoh-contoh kasusnya. Adapun metode yang
digunakan dalam menentukan kewajaran tersebut misalnya metode harga pasar pembanding
(comparable uncontrolled price method, metode harga pokok plus (cost plus),
metode harga jual minus (sales minus/ resale price method), dan metode tingkat
laba sebanding {comparable profit) atau tingkat hasil investasi {return on
investment). Untuk mengatasi kesulitan dalam menentukan harga wajar yang
dipakai pada transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa yang
seringkali menimbulkan sengketa antara wajib pajak dengan fiskus, Direktur
Jenderal Pajak diberi kewenangan untuk menerbitkan kesepakatan harga transfer
(Advance Pricing Agreement /APA) sebagaimana diatur dalam pasal 18 ayat (3a)
Undang Undang Pajak Penghasilan. Dalam hal kewenangan Direktur Jendral Pajak
untuk menerbitkan APA belum ditindaklanjuti dengan penerbitan peraturan pelaksana
atas ketentuan tersebut. Hal ini berakibat permasalahan tentang kesepakatan harga
transfer menjadi menggantung. Kendala peraturan pelaksanaan mengenai
kesepakatan harga transfer karena pihak regulator belum siap untuk melaksanakan
kewenangan yang diberikan UU PPh, belum memiliki patokan dalam penetuan harga
pasar yang wajar dan fasilitas-fasilitas pendukung belum lengkap. Metode yang
banyak dipergunakan berturut-turut metode harga pokok plus, metode harga jual
minus, metode tingkat laba sebanding dan metode harga pasar pembanding. Ketiadaan
aturan pelaksanaan tentang APA berakibat kepada Wajib Pajak tidak dapat mengajukan
permohonan kesepakatan harga transfer. Praktik yang kerap dilakukan Negara lain
dalam penentuan harga transfer melalui pengelompokkan jenis usaha guna analisis
marjin keuntungan dan pembuatan data base menentukan harga wajar. Dibandingkan
dengan negara-nagara lain, khususnya negara Asia, kebijakan untuk menangkal
praktik transfer pricing Indonesia terbatas. Sementara kebijakan untuk
menangkal praktik transfer pricing di negara-negara tersebut pada umumnya sangat komprehensif. Dalam
hal ini upaya untuk menangkal praktik transfer pricing dilakukan dengan
berbagai cara yang diatur dalam peraturan perundang- undangan perpajakan yang
jelas. Hal ini dapat dilihat pada tabel 2 di bawah ini: Studi evaluasi regulasi
atas praktik transfer pricing memiliki keterbatasan utama yakni berbagai macam
skema penghindaran pajak memiliki timeline terbatas sampai dengan awal tahun
2008. Sementara perkembangan terbaru dari regulasi praktik penghindaran pajak,
misalnya dalam regulasi praktik transfer pricing yang telah mengacu kepada pedoman-pedoman
umum dari Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) terkini,
tidak dimuat dalam penelitian ini. Walaupun demikian penulis tengah mempersiapkan
studi empiris yang berfokus pada perkembangan terkini regulasi praktik penghindaran
pajak setelah tahun 2008.
Daftar Pustaka
Rahayu, Ning.
2010. Evaluasi Regulasi Atas Praktik Penghindaran Pajak Penanaman Modal Asing.
Jurnal Akuntansi Dan Keuangan Indonesia.
Republik
Indonesia, Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah disempurnakan terakhir dengan Undang Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan.
Surahmat, Rachmanto. 2000. Persetujuan Penghindaran
Pajak Berganda, Sebuah Penganta. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Surakhmad, Winamo. 1982. Pengantar Penelitian
Ilmiah Dasar Metode dan
Teknik.
Bandung: Tarsico.
Syafril. 2005. Thin Capitalization Sebagai Bentuk
Penghindaran Pajak Pada PT.
Unitex
Tbk. Periode 1984-2002. Tesis, Program Kekhususan Ilmu Administrasi dan
Kebijakan Perpajakan, Program Pascasaijana FISIP UI, 2005.
Zain, Mohammad. 2005. Manajemen Perpajakan
Edisi 2. Jakarta: Penerbit
Salemba
Empat.