Rabu, 24 Juni 2015

Implementasi Regulasi Atas Praktik Penghindaran Pajak Penanaman Modal Asing




Latar Belakang
Dalam rangka menarik investor asing, banyak negara secara aktif mempromosikan negaranya agar menjadi lokasi investasi dengan memberikan berbagai insentif. Insentif tersebut dapat berupa insentif non pajak maupun insentif pajak. Insentif non pajak pada umumnya diberikan dalam bentuk pembangunan infrastruktur yang memadai, kemudahan memperoleh bahan baku, penyediaan tenaga kerja terlatih atau pemberian jaminan keamanan. Sementara itu, insentif pajak pajak diberikan melalui pemberian tax holiday, pajak yang rendah bagi investor asing, penyusutan dipercepat atau investment allowance. Bagi Indonesia, undangan pemerintah kepada investor asing untuk terus menanamkan investasi di Indonesia tak pernah berhenti diserukan. Pemerintah Indonesia tidak kalah gencar berupaya menarik investor untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pada tahun 2006 antara lain melalui penerbitan Instruksi Presiden Nomor 3 tahun 2006, pemerintah mengeluarkan dua paket kebijakan yang memuat paket kebijakan pembangunan infrastruktur dan paket kebijakan iklim investasi. Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan atau di daerah-daerah tertentu. Fasilitas Pajak Penghasilan yang diberikan adalah berupa pengurangan penghasilan neto, penyusutan dan amortisasi yang dipercepat, pengenaan Pajak Penghasilan atas dividen sebesar 10%, atau tarif yang lebih rendah, dan kompensasi kerugian yang lebih lama dari 5 tahun. Agenda yang masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah diantaranya perbaikan atau sinkronisasi kebijakan iklim investasi, masalah perpajakan, infrastruktur, peraturan perburuhan, dan koordinasi antar pengambil kebijakan dalam pemerintahan (World Bank 2005). Bagi wajib pajak, khususnya Penanaman Modal Asing (PMA), upaya efisiensi pajak dilakukan dengan memanfaatkan peluang yang terdapat dalam ketentuan perpajakan yang berlaku dikenal dengan tax planning dan tidak melanggar hukum. PMA lazim melakukan perencanaan pajak, baik yang bersifat aktif (agresif) maupun pasif (non-agresif), agar memperoleh manfaat sebesar mungkin dari kebutuhan negara berkembang seperti Indonesia yang masih mengalami deficit pendanaan proyek yang padat modal. Namun di sisi pemerintah, tentu saja perencanaan pajak demikian dapat dipersepsikan sebagai praktik penghindaran pajak.
Dalam upaya mengidentifikasi serta menangkal praktik penghindaran pajak yang dilakukan oleh perusahaan Penanaman Modal Asing, pada umumnya negara menerbitkan ketentuan pencegahan penghindaran pajak yang bersifat khusus (Specific Anti Avoidance Rule/SAAR) yang diatur dalam undang-undang domestiknya, seperti: Controlled Foreign Company (CFC), arm’s length rule, advance pricing agreement, dan debt to equity ratio (DER). Dalam praktik di beberapa negara, specific anti avoidance rule berjalan efektif dalam menangkal praktik penghindaran pajak dan memberikan kepastian hukum bagi wajib pajak (Thuronyi 1998,193). Selain ketentuan yang bersifat khusus tersebut, banyak negara juga menerbitkan  ketentuan pencegahan penghindaran pajak yang bersifat umum {General Anti Avoidance Rule/GAAR). Tujuan dibuatnya GAAR adalah  langkah antisipasi praktik penghindaran pajak yang belum diatur dalam ketentuan yang bersifat khusus atau untuk melawan tindakan tax avoidance yang pada saat dibuatnya peraturan belum dikenal. Dalam kaitan ini, fenomena cukup banyaknya perusahaan PMA yang melaporkan rugi pada laporan keuangannya dan tidak membayar pajak berturut-turut selama 5 tahun atau lebih yang antara lain ditengarai karena praktik penghindaran pajak, menuntut perhatian lebih dari pemerintah khususnya Direktorat Jenderal Pajak. Sukar diperoleh angka yang pasti dari fenomena perusahaan PMA yang tidak membayar pajak akibat kerugian dalam laporan keuangannya.
Dalam upaya menyikapi dan mencari solusi atas permasalahan tersebut, perlu  dikaji dua masalah pokok: pertama perlu dikaji bagaimana ketentuan penangkal penghindaran pajak {Anti Tax Avoidance) dapat meminimalisasi praktik penghindaran pajak. Kedua, perlu kajian tentang bagaimana pengalaman negara lain yang telah menerapkan  SAAR dan GAAR, sebagai pembanding dan benchmarking, terhadap regulasi yang berlaku di Indonesia. Bila penelitian sebelumnya lebih berfokus kepada penggelapan pajak  {tax evasion) serta penelitian suatu skema tertentu yang umumnya digunakan PMA, maka kontribusi studi ini mengidentifikasi lima skema utama praktik penghindaran pajak dengan karakteristik berbeda dari penggelapan pajak beserta tax loopholes yang dimiliki UU Perpajakan Indonesia. Studi ini dilakukan dengan berfokus pada regulasi yang dapat dimanfaatkan PMA untuk melakukan praktik penghindaran pajak {tax avoidance). Tinjauan literatur praktik penghindaran pajak diuraikan pada bagian kedua makalah ini, termasuk beberapa penelitian terdahulu yang memiliki topic penelitian selaras dengan masalah pokok yang dikaji tentang tax avoidance. Bagian ketiga menjelaskan metode kajian yang dilakukan. Bagian keempat paper ini menganalisis peraturan yang berlaku dalam menangkal tax avoidance serta peluang yang masih dapat dimanfaatkan, yang diakhiri dengan analisis komparatif regulasi SAAR maupun GAAR beberapa negara. Selanjutnya simpulan dan rekomendasi studi dikemukakan pada bagian penutup.
Peraturan praktik Tax Avoidance Indonesia diarahkan kepada upaya menangkal praktik penghindaran pajak, khususnya  yang dilakukan oleh pihak yang mempunyai hubungan istimewa, diatur dalam pasal 18 Undang Undang Pajak Penghasilan tentang Hubungan Istimewa. Kebijakan penangkal penghindaran pajak tersebut bersifat khusus (Specific Anti Tax Avoidance/ SAAR). Pembahasan regulasi praktik tax avoidance disusun dengan mengacu pada kerangka pemikiran yang diajukan, peneliti mengkaji pajak penghasilan dari Perusahaan Modal Asing yang diduga melakukan praktik penghindaran pajak dengan menggunakan skema yang dibahas dalam bagian kedua makalah ini. Kerangka pemikiran digunakan untuk memperjelas langkah-langkah yang peneliti lakukan dalam studi kualitatif ini.  Adapun beberapa skema praktik penghindaran  pajak yang diatur dalam pasal 18 Undang-Undang Pajak Penghasilan tersebut adalah:
Penangkal Praktik Thin Capitalization Melalui Penentuan Besaran Debt Equity Ratio (DER)
Upaya men a n g k a l  p r a k t i k  thin capitalization yaitu praktik membiayai cabang atau anak perusahaan lebih banyak dari utang dibandingkan modal sendiri, dalam hal ini, Menteri Keuangan Republik Indonesia diberi kewenangan untuk menentukan besarnya rasio antara hutang dengan modal (Debt Equity Ratio). Sebagai tindak lanjut dari kewenangan yang diberikan Undang –Undang Pajak Penghasilan kepada Menteri Keuangan tersebut, maka pada 8 Oktober 1984 diterbitkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor 1002/KMK.04/1984 tentang Penentuan Perbandingan Antara Hutang dan Modal Sendiri Untuk Keperluan Pengenaan Pajak Penghasilan. Dalam KMK1002/KMK04/1984 diatur bahwa untuk keperluan penghitungan Pajak  Penghasilan besarnya perbandingan antara hutang dan modal sendiri (debt equty ratio). Dalam keputusan tersebut yang dimaksud dengan utang adalah saldo rata-rata pada tiap akhir bulan yang dihitung dari semua hutang baik utang jangka panjang maupun utang jangka pendek, selain utang dagang. Sementara itu, modal sendiri adalah jumlah modal yang disetor pada akhir tahun pajak termasuk laba yang tidak dan atau belum dibagikan. Dalam hal ini besarnya perbandingan hutang dan modal sendiri yang diatur adalah sebesar 3:1. Dengan pertimbangan bahwa penentuan besarnya perbandingan antara utang  dan modal sendiri oleh pemerintah dianggap dapat menghambat perkembangan dunia usaha, maka Menteri Keuangan menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan nomor 254/ KMK.01/1985, tanggal 8 Maret 1985 tentang Penundaan Pelaksanaan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor 1002/ KMK.04/1984 tanggal 8 Oktober 1984 tentang Penentuan Perbandingan Antara Hutang dan Modal Sendiri Untuk Keperluan Pengenaan Pajak Penghasilan. Sebagaimana diketahui pembatasan rasio utang dan modal sendiri bemuasa restriksi atas penanaman modal asing dan modal dalam negeri, saat peraturan dikeluarkan pemerintah sedang melakukan deregulasi hambatan investasi di dalam negeri. Pada sisi lain, bila tanpa pengaturan DER dan persyaratan kepemilikan maka praktik thin capitalization menjadi sangat mudah dilakukan dalam konteks penghindaran pajak. Penundaan berlakunya ketentuan tentang perbandingan antara utang dengan modal sendiri tersebut adalah tanpa batas waktu. Penulis memang tidak memiliki data valid atas dugaan perusahaan PMA menggunakan absennya pengaturan debt to equity ratio ini dalam UU Pajak Penghasilan, misalnya jumlah perusahaan penanaman modal asing yang terindikasi menggunakan thin capitalization, namun berdasarkan regulasi negara lain yang sudah mengaturnya maka regulasi atas peluang loophole DER mendesak untuk dipenuhi. Masa berlakunya ketentuan mengenai besarnya perbandingan antara hutang dengan  modal (Debt Equity Ratio) sebagaimana diatur oleh Menteri Keuangan tersebut sangat singkat, karena pada Maret 1985 ketentuan ditunda sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Dengan penundaan tersebut maka sejak saat itu sampai sekarang Indonesia tidak memiliki aturan tentang Debt Equity Ratio/DER. Hal ini berarti sampai saat ini Indonesia tidak memiliki aturan penangkal praktik thin capitalization.
Mengingat pentingnya aturan mengenai besarnya Debt Equty Ratio untuk mencegah praktik thin capitalization yang merugikan penerimaan negara dari sektor pajak, maka banyak negara mengatur mengenai besarnya Debt Equity Ratio tersebut dalam ketentuan thin capitalization rules di negaranya yang dipadukan dengan persyaratan kepemilikan. Misalnya Jepang membatasi DER 3:1 dengan syarat kepemilikan lebih dari lima puluh persen, Australia juga membatasi rasio DER 3:1 namun kepemilikannya lebih rendah yaitu  15 persen dan Kanada lebih ketat membatasi rasio DER 2:1 dengan syarat kepemilikan sampai dengan 25 persen. Selain isu syarat kepemilikan maka pengaturan besarnya rasio utang terhadap ekuitas mempertimbangkan tipologi industri di mana regulasi pencegahan praktik thin capitalization pada industri manufaktur akan berbeda pengaturan Debt Equity Ratio-nya pada industri konstruksi2. Best practice Negara-negara di atas juga telah mempertimbangkan faktor jenis industri. Implikasi terpenting tanpa pengaturan besaran Debt to Equity Ratio maka Perusahaan PMA dapat melakukan penghindaran pajak melalui skema thin capitalization, praktik thin capitalization pada dasarnya adalah praktik penyetoran modal terselubung melalui pemberian pinjaman yang melampaui batas kewajaran. Pembiayaan induk perusahaan semata-mata melalui utang anak perusahaan dengan skema direct loan (pinjaman langsung), skema parallel loan, dan skema back to back loan.
Regulasi Praktik Pemanfaatan Negara Tax Haven Melalui Kebijakan Dividen Perusahaan

Terkait praktik penghindaran pajak melalui pemanfaatan negara tax haven dan juga Controlled Foreign Corporation (CFC), Menteri Keuangan Republik Indonesia diberi kewenangan untuk menetapkan saat diperolehnya dividen oleh wajib pajak 2 Penulis mendapatkan masukan berharga dari Editor jurnal atas usulan regulasi DER masing-masing industri. dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri yang sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek. Sebagai tindak lanjut dari kewenangan tersebut, maka pada tanggal 29 Desember 1994 diterbitkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor 650/KMK.04/1994 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen Atas Penyertaan Modal Pada Badan Usaha di Luar Negeri yang Sahamnya Tidak Diperdagangkan di Bursa Efek. Dalam KMK no 650/KMK.04/1994 diatur bahwa untuk keperluan penghitungan Pajak Penghasilan, saat diperolehnya dividen oleh wajib pajak dalam negeri ditetapkan pada bulan keempat setelah berakhirnya batas waktu  kewajiban penyampaian surat pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan badan usaha di luar negeri untuk tahun yang bersangkutan. Apabila tidak ada ketentuan batas waktu penyampaian surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan atau tidak ada kewajiban menyampaikan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan, maka saat diperolehnya dividen ditetapkan pada bulan ketujuh setelah tahun pajak berakhir. Wajib pajak dalam negeri (WPDN) yang dimaksud dalam KMK no.650 adalah WPDN yang memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut:
a), memiliki sekurang-kurangnya 50% dari  jumlah saham yang disetor pada badan usaha di luar negeri; atau
b), secara bersama-sama dengan wajib pajak dalam negeri lainnya memiliki sekurangkurangnya 50% dari jumlah saham yang disetor pada badan usaha di luar negeri.
Sementara itu, badan usaha di luar  negeri sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan tersebut adalah badan usaha yang bertempat kedudukan di negara-negara tax haven. Sebagai tindak lanjut dariditerbitkannya Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor 650/KMK.04/ 1994, tanggal 29 Desember 1994 tersebut, Direktorat Jenderal Pajak menerbitkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE- 22/PJ.4/1995, tanggal 26 April 1995 tentang Dividen Dari Penyertaan Modal Pada Badan Usaha di Luar Negeri Yang Sahamnya Tidak Diperdagangkan di Bursa Efek serta Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE-35/PJ.4/1995, tanggal 7 Juli 1995 tentang Penegasan Lebih Lanjut Atas Dividen Dari Penyertaan Modal Pada Badan Usaha di Luar  Negeri Yang Sahamnya Tidak Diperdagangkan di Bursa Efek. Pada skema pemanfaatan negara tax haven dan CFC fokus regulasi penangkal kedua skema tersebut terdapat pada pembagian dividen oleh para wajib pajak atas penyertaan modal pada entitas usaha luar negeri yang sahamnya tidak diperdagangkan di Bursa  Efek. Ketentuan penangkal praktik CFC dalam pasal 18 ayat (2) memberikan kewenangan untuk menetapkan saat perolehan dividen oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas saham badan usaha di Luar Negeri dimana sahamnya tidak diperdagangkan di Bursa Efek, termasuk Keputusan Menteri Keuangan No-650/1994 yang didesain meminimalisasi praktik CFC. Problematika tax haven kemudian sejak diterbitkannya regulasi di atas yaitu sejak tahun 1994 sampai saat ini daftar negara tax haven tersebut tidak pernah diperbaharui. Ketentuan yang sudah terlalu lama tersebut menyebabkan daftar negara-negara tax haven tersebut sudah tidak relevan dengan perkembangan yang ada. Akibatnya wajib pajak dalam negeri masih dapat melakukan praktik penghindaran pajak dengan melakukan investasi di negara tax haven lainnya yang tidak tercantum dalam daftar negara tax haven menurut Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia. Banyak negara telah menerapkan kriteria negara tax haven menurut kriteria tertentu, misalnya Korea Selatan mendefinisikan negara tax haven bila beban pajak yang dibayar di Korea Selatan kurang dari 15% dari penghasilan kena pajak. Beberapa contoh negara dengan kriteria penerapan negara tax haven.
Penetapan negara-negara tax haven berdasarkan list mengandung kelemahan sistemik karena pertama, apabila tidak sering diperbaharui, karena perkembangan sangat cepat. Untuk mengantisiapasi hal ini banyak negara yang menentukan negara tax haven berdasarkan kriteria-kriteria tertentu, seperti berdasarkan kriteria besarnya tarif pajak yang berlaku di negara tersebut. Kedua, dalam ketentuan pasal 18 ayat (2) sebagai CFC Rules Indonesia adalah dalam hal kontrol. Indonesia menggunakan pendekatan hukum, yaitu kepemilikan pada CFC sebesar lebih dari 50% secara sendiri atau bersama-sama dengan Wajib Pajak Dalam Negeri lainnya. Dalam hal ini definisi kontrol yang diterapkan Indonesia hanya terbatas pada kepemilikan saham secara langsung terhadap badan usaha di luar negeri tersebut. Praktik CFC rules Korea Selatan juga mengatur bahwa kepemilikan tidak langsung juga termasuk dalam pengertian kontrol dan pengenaan aturan CFC tidak hanya dapat dilakukan pada lapisan pertama, lapisan kedua maupun lapisan-lapisan selanjutnya. Diperlukan adanya pengaturan kepemilikan tidak langsung, misalnya kepemilikan cucu perusahaan melalui anak perusahaan. Ketentuan CFC Rules Indonesia juga hanya menyangkut passive income saja sedangkan active income tidak tercakup dalam ketentuan.
Regulasi Praktik Transfer Pricing Melalui Perhitungan Penghasilan Kena  Pajak (PKP) Wajib Pajak dengan Hubungan Istimewa
Guna menangkal praktik transfer pricing, Direktur Jenderal Pajak diberi kewenangan untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak (PKP) bagi wajib pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan wajib pajak lainnya  sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa,  Adapun kriteria yang digunakan untuk menentukan adanya hubungan istimewa adalah sebagai berikut:
a.       Terdapat penyertaan saham sekurang-  kurangnya 25% baik secara langsung
maupun tidak langsung.
b.    Terdapat penguasaan yang sama.
c.       Terdapat hubungan keluarga, baik sedarah  maupun semenda, dalam garis keturunan lurus atau ke samping satu derajat.
Sebagai tindak lanjut dari kewenangan Direktur Jenderal Pajak tersebut, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Edaran Nomor SE -  04/ PJ.7 / 1993 tentang Petunjuk Penanganan Kasus-kasus Transfer Pricing. Dalam surat edaran tersebut disebutkan bahwa hubungan istimewa dapat berimplikasi pada: kekurangwajaran harga, biaya atau imbalan lain yang direalisasikan dalam transaksi usaha. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak tersebut juga menegaskan bahwa transfer pricing dapat terjadi antar Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) atau antara Wajib Pajak Dalam Negeri dengan pihak Luar Negeri, terutama yang berkedudukan di negara-negara tax haven. Terhadap transaksi antar wajib pajak yang mempunyai hubungan istimewa tersebut, Undang-Undang perpajakan Indonesia meng­ anut azas materiil (substance over f orm principle). Untuk menentukan kewajaran harga dari transaksi yang terjadi antara pihak- pihak yang mempunyai hubungan istimewa, surat edaran Direktur Jenderal Pajak tersebut memperkenalkan beberapa metode beserta contoh-contoh kasusnya. Adapun metode yang digunakan dalam menentukan kewajaran tersebut misalnya metode harga pasar pembanding (comparable uncontrolled price method, metode harga pokok plus (cost plus), metode harga jual minus (sales minus/ resale price method), dan metode tingkat laba sebanding {comparable profit) atau tingkat hasil investasi {return on investment). Untuk mengatasi kesulitan dalam menentukan harga wajar yang dipakai pada transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa yang seringkali menimbulkan sengketa antara wajib pajak dengan fiskus, Direktur Jenderal Pajak diberi kewenangan untuk menerbitkan kesepakatan harga transfer (Advance Pricing Agreement /APA) sebagaimana diatur dalam pasal 18 ayat (3a) Undang Undang Pajak Penghasilan. Dalam hal kewenangan Direktur Jendral Pajak untuk menerbitkan APA belum ditindaklanjuti dengan penerbitan peraturan pelaksana atas ketentuan tersebut. Hal ini berakibat permasalahan tentang kesepakatan harga transfer menjadi menggantung. Kendala peraturan pelaksanaan mengenai kesepakatan harga transfer karena pihak regulator belum siap untuk melaksanakan kewenangan yang diberikan UU PPh, belum memiliki patokan dalam penetuan harga pasar yang wajar dan fasilitas-fasilitas pendukung belum lengkap. Metode yang banyak dipergunakan berturut-turut metode harga pokok plus, metode harga jual minus, metode tingkat laba sebanding dan metode harga pasar pembanding. Ketiadaan aturan pelaksanaan tentang APA berakibat kepada Wajib Pajak tidak dapat mengajukan permohonan kesepakatan harga transfer. Praktik yang kerap dilakukan Negara lain dalam penentuan harga transfer melalui pengelompokkan jenis usaha guna analisis marjin keuntungan dan pembuatan data base menentukan harga wajar. Dibandingkan dengan negara-nagara lain, khususnya negara Asia, kebijakan untuk menangkal praktik transfer pricing Indonesia terbatas. Sementara kebijakan untuk menangkal praktik transfer pricing di negara-negara  tersebut pada umumnya sangat komprehensif. Dalam hal ini upaya untuk menangkal praktik transfer pricing dilakukan dengan berbagai cara yang diatur dalam peraturan perundang- undangan perpajakan yang jelas. Hal ini dapat dilihat pada tabel 2 di bawah ini: Studi evaluasi regulasi atas praktik transfer pricing memiliki keterbatasan utama yakni berbagai macam skema penghindaran pajak memiliki timeline terbatas sampai dengan awal tahun 2008. Sementara perkembangan terbaru dari regulasi praktik penghindaran pajak, misalnya dalam regulasi praktik transfer pricing yang telah mengacu kepada pedoman-pedoman umum dari Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) terkini, tidak dimuat dalam penelitian ini. Walaupun demikian penulis tengah mempersiapkan studi empiris yang berfokus pada perkembangan terkini regulasi praktik penghindaran pajak setelah tahun 2008.







Daftar Pustaka
Rahayu, Ning. 2010. Evaluasi Regulasi Atas Praktik Penghindaran Pajak Penanaman Modal Asing. Jurnal Akuntansi Dan Keuangan Indonesia.
Republik Indonesia, Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah disempurnakan terakhir dengan Undang Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan.
Surahmat, Rachmanto. 2000. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, Sebuah Penganta. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Surakhmad, Winamo. 1982. Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode dan
Teknik. Bandung: Tarsico.
Syafril. 2005. Thin Capitalization Sebagai Bentuk Penghindaran Pajak Pada PT.
Unitex Tbk. Periode 1984-2002. Tesis, Program Kekhususan Ilmu Administrasi dan Kebijakan Perpajakan, Program Pascasaijana FISIP UI, 2005.
Zain, Mohammad. 2005. Manajemen Perpajakan Edisi 2. Jakarta: Penerbit
Salemba Empat.