Pada kesempatan kali ini
saya ingin mencoba menceritakan tentang diri saya sendiri..
For the first, nama saya Leo Agung Swasono Mulyawant.
Banyak teman-teman memanggil saya Agung..tapi itu dulu. Sekarang banyak yang lebih
mengenal dengan nama Leo. Lahir di Jakarta, 16 Oktober 1993. Anak pertama dan
terakhir dari Mr. Heribertus P. Darmawanto dan Mrs. Weda Mulyati. Mereka
berdua, asli Jawa dan kelahiran Jawa. Hobby yang saya geluti untuk saat ini adalah berkuliah di salah satu perguruan swasta yang saya tidak bisa sebutkan namanya (UG) dan saya suka dengan olahraga basket.
Saat Taman Kanak-kanak (TK), saya
bersekolah di St. Fransiskus Asisi Tebet, Jakarta. Satu hal yang benar-benar
saya masih ingat sampai sekarang adalah, saat dimana kepala saya pernah
terbentur di tiang ‘prosotan’ yang cukup membuat kepala saya berlubang dan
mengeluarkan cairan itu…itunya darah maksudnya. Selain hal itu, saya bingung
ingin menceritakan apa karena memang seperti kegiatan anak-anak yang bersekolah
pada umumnya. Dan saya memiliki guru favorit yang sampai saat ini kalau bertemu
kami masih saling menyapa satu sama lain, yaitu Bu Rini. Entah siapa nama
panjangnya, yang pasti dia guru terbaik yang pernah saya kenal pada jamannya
waktu itu. Mungkin karena dia yang paling nge-‘mong’ sama anak-anak muridnya.
Lalu, masa pendidikan saya to be continued ke Sekolah
Dasar (SD). SD saya di Yayasan yang sama yaitu St. F. Asisi. Layaknya sekolah
pada umumnya, guru itu bagaikan ‘Once Forever’ dari pagi sampai selesai tidak
ganti-ganti. Ada cerita saat saya kelas 2, dengan wali kelas saya yang bernama
bu Har(doko). Saya lupa hal apa yang saat itu saya pernah lakukan hingga lengan
kanan saya (kalau salah berarti yang kiri..kan lupa) dicubit hingga biru.
Hampir jadi kasus antara orang tua murid dengan guru, tapi karena saya berpikir
bu Har bermaksud baik hanya saja mungkin saat itu dia tidak sengaja
melakukannya, jadi saya maafkan. Tanpa disengajapun, feedback yang positif pun
terjadi. Semenjak hari itu, dia pun jadi baik dan malah jadi guru favorit saya.
Bahkan saya jadi salah satu siswa unggulannya.
Untuk masa-masa kelas 3 SD tidak banyak yang bisa
diceritakan, hanya hal besar yang cukup mengganggu untuk anak seumuran saya
waktu itu. Kedua orangtua saya berpisah, banyak hal yang terjadi, dan harusnya
saat itu saya belum pantas untuk menyaksikannya dengan mata kepala dan kaki
saya sendiri. Intinya ya setia aja.
Back to the real story, kemudian saya beranjak dan
bertempat di kelas 4 SD. Tak disangka tak diduga wali kelas saya kembali diajar
oleh nya. Pola pengajaran bu Har pun mulai berubah, dia semakin tegas dengan
anak muridnya. Dan disaat bersamaan saya mengalami hal yang tak pernah saya
harapkan, bahkan tak pernah terbesit dalam pikiran. Saya lupa awalnya bagaimana
hal itu bisa terjadi, yang saya ingat mulanya saya jadi sulit untuk berbicara
(layaknya Azis Gagap, tapi lebih mengenaskan). Rasanya ditenggorokan saya ada
yang mengganjal hingga saya jadi sulit untuk mengungkapkan kata-kata. Parahnya
itu terjadi hanya saat saya maju kedepan untuk ber-drama atau mempresentasikan
sesuatu. Saya cukup tersiksa dengan kondisi seperti itu dan beberapa teman saya
pun heran dengan keadaan yang tiba-tiba terjadi tanpa sebab.
Hari-hari saya lalui dengan kekurangan saya yang sangat
terlihat itu, namun untungnya saat ujian kenaikan kelas hal itu tidak
menghalangi, seakan hilang sesaat demi kelancaran ujian. Sayangnya, hal itu
harus kembali lagi dan lagi. Pernah sempat dicheck-up ke dokter, tidak ada
kesalahan atau kejanggalan pada alat komunikasi saya. Syaraf-syaraf dan
urat-urat saya pun masih utuh dan tidak ada yang terputus dari servernya.
Akhirnya saya mencapai kelas 6 SD, tanpa kurang suatu
apapun. Menjalani ujian tanpa hambatan, dan kekurangan saya itu lagi-lagi
sedang bersahabat dengan keadaan. Setelah itu, saya beserta teman-teman dan
sekolah mengadakan acara perpisahan di daerah Puncak. Itu pertama kalinya saya
merasakan apa itu yang disebut perpisahan. Rasanya kita semua akan sulit untuk
bertemu kembali. Tapi kpada kenyataannya, tidak seperti apa yang saya
bayangkan..
Saya memilih untuk meneruskan melanjutkan jenjang
pendidikan saya di Sekolah Menengah Pertama (SMP) St. Fransiskus Asisi (lagi
dan lagi). Jujur saat itu memang saya kurang memiliki rasa percaya diri untuk
tampil di sekolah lain, jadi saya lebih baik memilih lingkungan yang sudah saya
kenal dan nyaman sebelumnya. Memang ramai, ada puluhan yang mendaftar. Pada
masa MOS, saya menyadari ada belasan siswa/siswi baru, sedangkan sisanya adalah
teman-teman SD saya yang sudah bertahun-tahun saya kenal baik dengan mereka.
Rasanya baru kemarin bertemu mereka, dan kini harus bersama lagi dengan mereka
yang muka nya tidak berubah sama sekali.
Pengalaman saya mengikuti kegiatan Pramuka saat Kelas 1
SMP, dan itu menyenangkan. Ditambah lagi dengan adanya kegiatan PERSAMI
(Perkemahan Sabtu Minggu) yang dilaksanakan ke cibubur. Pertama kalinya
berkemah, tidur beralaskan tikar dan beratapkan tenda yang setiap kelompok buat
sendiri, berada di sekitar api unggun, serta pohon-pohon yang tinggi. Cukup
menimbulkan rasa kekompakan untuk ukuran anak kelas 1 pada saat itu.
Namun berbeda saat kelas 2
SMP, mulailah Gang (dibaca: gӕng) bermunculan entah siapa yang mulai
menciptakan persekutuan-persekutuan ini. Dari siswa, hingga siswi tidak luput
dari aksi perekrutan tersebut. Setelah terbentuk, yang saya perhatikan hanya
adanya kegiatan yang bersama dilakukan oleh anggota-anggotanya saja. Bagi saya,
itu hanya akan menutup sosialisasi dan seakan-akan membeda-bedakan mana yang
‘teman’ mana yang bukan ‘teman’. Meski begitu saat event-event tertentu
siswa/siswi tetap menunjukkan kesolidaritas-annya. Aksi yang cukup gila terjadi
saat kami mengikuti Retret yang diadakan oleh pihak sekolah. Saya lupa waktu
itu bertempat dimana, tapi saya ingat kalau semenjak saat itu sekolah Asisi di
‘Black List’ akibat kunjungan pertama dan menjadi yang terakhir bagi angkatan
saya dan teman-teman.
Sementara sekian
dulu, karena tuntutan waktu dan kesempatan saya akan melanjutkannya dilain
kali. Terima kasih, sama-sama